3 Hal yang Perlu Dipersiapkan Sebelum Kematian dalam Islam
Kematian adalah kepastian yang tak dapat dihindari. Tidak peduli siapa, kapan, di mana, dan dalam kondisi apa pun, ketika saatnya tiba, tidak ada yang dapat menghindarinya.
Kematian adalah sebuah jalan yang menghubungkan kehidupan di dunia dan kehidupan di akhirat. Dunia adalah tempat di mana kita menyiapkan bekal untuk kehidupan abadi di akhirat.
Apa yang kita tanam di dunia ini akan menjadi hasil yang akan kita panen di akhirat. Rasulullah menyebut orang yang mempersiapkan diri untuk kehidupan setelah mati sebagai orang yang cerdas, sementara orang yang terperangkap dalam keinginan dunia merupakan orang yang lemah.
الكَيِّسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ وَعَمِلَ لِمَا بَعْدَ الْمَوْتِ، وَالعَاجِزُ مَنْ أَتْبَعَ نَفْسَهُ هَوَاهَا وَتَمَنَّى عَلَى اللهِ
“Orang cerdas adalah orang yang rendah diri dan beramal untuk kehidupan setelah kematian, dan orang lemah adalah orang yang mengikutkan dirinya pada hawa nafsunya dan berangan-angan atas Allah,” (HR. al-Tirmidzi, Ibnu Majah dan lainnya).
Berkaitan dengan hal tersebut, menarik mengetahui hal-hal apa saja yang perlu dilakukan sebelum datangnya kematian. Berikut ini penjelasan lengkapnya.
Hal yang Perlu Dipersiapkan Sebelum Kematian dalam Islam
Dalam agama Islam, tidak ada yang pasti selain kematian. Setiap individu akan dimintai pertanggungjawaban atas semua perbuatannya. Berikut adalah tiga hal yang harus disiapkan sebelum menghadapi kematian:
1. Memperbanyak Perbuatan Baik
Allah menetapkan dua persyaratan bagi siapa pun yang ingin menemui-Nya di surga, yaitu melakukan perbuatan baik dan menjauhi kesyirikan. Dalam firman-Nya, Allah subhanahu wata'ala menegaskan:
فَمَنْ كانَ يَرْجُوا لِقاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صالِحاً وَلا يُشْرِكْ بِعِبادَةِ رَبِّهِ أَحَداً
“Barang siapa yang mengharapkan bertemu Tuhannya maka hendaklah melakukan amal shalih dan janganlah menyekutukan ibadah terhadap Tuhannya dengan suatu apapun.” (QS al-Kahfi: 110).
Dalam ayat di atas, yang dimaksud dengan amal saleh adalah segala bentuk perbuatan baik yang tidak memiliki niat untuk pamer dan sesuai dengan petunjuk syariat. Menurut Syekh Mu'adz, amal saleh terdiri dari empat hal, yaitu ilmu, niat, kesabaran, dan ikhlas, seperti yang dikutip oleh al-Imam al-Baghawi dalam tafsirnya.
Setelah seseorang konsisten dalam beramal baik, mereka seharusnya tidak terlalu bangga terhadap perbuatan baik yang mereka lakukan, seperti merasa lebih baik dari orang lain atau merasa bahwa amal mereka akan menyelamatkan mereka di hari kiamat.
Sebenarnya, seseorang akan mendapatkan kenikmatan dan keselamatan di akhirat bukan karena amal mereka, melainkan karena anugerah dan kasih sayang dari Allah. Tidak ada yang dapat menjamin takdir seseorang di hari pembalasan di masa depan.
لَنْ يُدْخِلَ أَحَدًا عَمَلُهُ الجَنَّةَ قَالُوا وَلاَ أَنْتَ يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ لاَ، وَلاَ أَنَا، إِلَّا أَنْ يَتَغَمَّدَنِي اللهُ بِفَضْلٍ وَرَحْمَةٍ، فَسَدِّدُوا وَقَارِبُوا
“Tidak seorang pun amalnya memasukkannya ke surga. Sahabat bertanya: 'apakah termasuk engkau ya Rasulullah?' Nabi menjawab, 'Termasuk aku. Tetapi Allah telah menaungiku dengan anugerah dan rahmat, maka benarkanlah (niatmu dalam beramal) dan berlakulah sedang,'” (HR. al-Bukhari).
Hadis di atas tidak bermaksud mengatakan bahwa amal saleh tidak memiliki manfaat, tetapi Nabi memberikan petunjuk bahwa dalam melakukan amal saleh, harus dilakukan dengan ikhlas dan semata-mata untuk mengikuti perintah agama. Oleh karena itu, dalam kalimat setelahnya, Nabi menegaskan pentingnya menyucikan niat dalam melakukan amal.
2. Menjauhi Seluruh Tindakan yang Tercela
Selain melakukan amal saleh, menjauhi perbuatan tercela juga sangat penting. Termasuk perbuatan tercela adalah perbuatan yang diharamkan dan yang makruh.
Meninggalkan perbuatan yang diharamkan adalah kewajiban, sedangkan meninggalkan perbuatan yang makruh adalah anjuran. Selain itu, disarankan untuk membatasi perbuatan-perbuatan yang halal namun tidak ada manfaatnya.
Para ulama salaf sangat berhati-hati untuk menjauhkan diri dari perbuatan tercela. Bagi mereka, yang penting bukan hanya meninggalkan perbuatan yang diharamkan dan yang makruh, tetapi juga membatasi perbuatan-perbuatan halal yang dapat mengalihkan perhatian dari ibadah.
Alasannya, perbuatan-perbuatan yang tidak dikehendaki akan menciptakan hati yang kotor, membuatnya keras, enggan menerima kebenaran, dan malas dalam beribadah. Semakin hati-hati seseorang dalam menjauhi perbuatan yang diharamkan, semakin tinggi kedudukannya di sisi Allah.
3. Bertaubat Sesegera Mungkin
Tidak ada manusia yang bebas dari kesalahan dan dosa. Kesalahan adalah sesuatu yang biasa bagi manusia. Namun, masalahnya adalah jika kita terus-menerus terjerat dalam perbuatan dosa. Kita tidak tahu kapan kematian akan datang, sehingga kita perlu segera bertaubat setiap kali kita melakukan dosa agar kita dapat menghindari akhir yang buruk dalam hidup kita. Agama mengajarkan kita untuk terus-menerus memperbarui tobat dari segala perbuatan yang bertentangan dengan ajaran agama. Syekh Ahmad al-Dardiri pernah mengatakan:
وَجَدِّدِ التَّوْبَةَ لِلْأَوْزَارِ * لَا تَيْأَسَنْ عَنْ رَحْمَةِ الْغَفَّارِ
“Perbaruilah tobat karena beberapa dosa. Janganlah merasa putus asa dari rahmat Allah yang maha pengampun,” (Syekh Ahmad al-Dardiri, Manzhumah al-Kharidah al-Bahiyyah).
Dalam beberapa kesempatan, seseorang melakukan penyesalan atas dosa yang berkaitan dengan Allah Swt dan ada juga dosa yang berkaitan dengan hak orang lain. Ada empat syarat yang harus dipenuhi ketika bertobat dari dosa yang berkaitan dengan Allah SWT, yaitu merasa menyesal, menghentikan perbuatan dosa tersebut, bertekad untuk tidak mengulanginya, dan memohon ampunan.
Apabila dosa yang dilakukan adalah meninggalkan kewajiban ibadah fardhu, maka harus menggantinya setelahnya. Namun, jika dosa yang terjadi adalah melanggar hak orang lain, maka penting untuk mengembalikannya kepada pemiliknya atau meminta izinnya.
Jika pemilik sudah meninggal, maka harus dilakukan kepada ahli warisnya. Jika dosa tersebut berhubungan dengan masalah materi seperti hutang atau pencurian, maka harus mengembalikannya. Namun, jika dosa tersebut berhubungan dengan hal-hal non materi seperti menyakiti, memfitnah, atau memecah belah, maka harus meminta maaf kepada orang yang terzalimi.