PLN Harus Beli Batu Bara dengan Harga Pasar, Bagaimana Efeknya?
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan menyebut PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) akan membeli batu bara dengan harga pasar. Saat ini, PLN membeli batu bara dengan harga khusus melalui kebijakan domestic market obligation (DMO) dipatok sebesar US$ 70 per ton.
Kebijakan ini merupakan salah satu solusi Luhut untuk mengatasi masalah kekurangan pasokan batu bara di pembangkit-pembangkit milik PLN yang kerap terjadi. Agar tidak memberatkan PLN, Luhut menyebut, pemerintah akan membentuk Badan Layanan Umum yang berfungsi menanggung selisih harga DMO dengan harga pasar yang harus dibayarkan PLN.
"Jadi nanti kalau ada selisih harga basis US$ 70 per ton dengan harga pasar, BLU yang akan membayarkan dari iuran perusahaan batu bara. Semua perusahaan batu bara memiliki kewajiban yang sama untuk menyubsidi," kata dia.
Dengan demikian, menurut dia, iuran perusahaan batu bara yang dipungut BLU ini akan disesuaikan dengan kondisi selisih harga batu bara yang harus dibayarkan PLN dengan harga pasar. Luhut telah meminta tim lintas Kementerian/Lembaga untuk merumuskan mekanisme BLU untuk memungut iuran ekspor batu bara tersebut. Badan ini kemungkinan dibentuk dalam satu hingga dua bulan ke depan.
Adapun selama proses pembentukan BLU ini masih berlangsung, harga batu bara yang dibeli PLN tetap dipatok US$ 70 per ton.
Saat dikonfirmasi terkait rencana kebijakan ini, Executive Vice President Komunikasi Korporat PLN Agung Murdifi enggan berkomentar. Pesan WhatsApp yang dikirimkan Katadata.co.id tidak pernah direspons.
Sementara Direktur Center of Economic and Law Studies Bhima Yudhistira menilai kebijakan ini justru akan menambah beban bagi keuangan PLN meskipun selisih harga yang dibayarkan PLN dan harga pasar dibayarkan oleh BLU.
Menurut dia, persoalan sebenarnya ada pada kepatuhan dari masing-masing produsen batu bara. Jika menggunakan skema mengikuti harga pasar, ia meragukan, apakah para produsen batu bara nantinya akan membayar iuran secara sesuai tepat waktu.
"Kalau harga di lepas ke pasar saat volatilitasnya masih tinggi, beban keuangan yang mungkin muncul terhadap PLN apakah bisa ditutup dengan iuran? Kalau tidak bisa, apakah selisih harganya akan ditutupi oleh misalnya subsidi atau penugasan dari anggaran APBN?" katanya.
Kebijakan ini, menurut dia, berpotensi menciptakan beban batu di masa depan terhadap kelanjutan bisnis PLN dan APBN. Oleh karena itu, ia meminta pemerintah mengevaluasi secara matang rencana penerapan pembelian batu bara dengan harga pasar untuk sektor kelistrikan.
"Yang paling penting adalah PLN dapat mendapatkan kepastian pasokan. Kekurangan PLN terhadap kebijakan DMO saat ini tidak memiliki kontrak jangka panjang dengan perusahaan batu bara," ujarnya.
Senada, Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan mengatakan mekanisme pembelian batu bara dengan harga pasar berpotensi memberatkan keuangan PLN. PLN kemungkinan harus mengeluarkan dana terlebih dulu sebelum nantinya akan dikompensasi oleh BLU tersebut.
"Ada cost of money yang harus ditanggung PLN. Beban ini apakah ada dikompensasi juga oleh BLU, atau hanya selisihnya saja. Ini jelas akan menambah beban keuangan bagi PLN," ujarnya.
Namun jika pembelian batu bara PLN nantinya akan mengikuti harga pasar, menurut dia, pemasok otomatis akan berbondong-berbondong menjual batu bara mereka ke PLN. Dengan demikian, pasokan untuk PLN diperkirakan tidak akan mengalami gangguan.
Ia pun masih menunggu secara jelas aturan teknisnya terkait dengan pergantian skema pembelian batu bara oleh PLN ini, terutama terkait mekanisme BLU. "Mekanisme iurannya seperti apa, berapa besar iuran yang dibayarkan, skema pembagian ke PLN nanti bagaimana dan hal teknis yang lain terkait dengan BLU ini," kata Mamit.