Kebal Dampak Pandemi, Aset Industri Keuangan Syariah Naik 20%
Otoritas Jasa Keuangan menyebut industri keuangan syariah memiliki daya tahan yang lebih tinggi terhadap dampak pandemi Covid-19. Hal ini terbukti dari pertumbuhan aset industri keuangan syariah hingga Juli 2020 mencapai Rp 1.639 triliun, tumbuh 20,61% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Ketua OJK Wimboh Santoso menjelaskan jumlah aset keuangan syariah tersebut tidak termasuk saham syariah. Adapun pangsa pasar industri keuangan syariah saat ini mencapai 9,68%.
"Ini didukung dengan semakin banyaknya jumlah lembaga jasa keuangan di Indonesia," kata Wimboh dalam Forum Riset Ekonomi dan Keuangan Syariah Tahun 2020, Senin (21/9).
Ia menjelaskan, pada sektor perbankan, terdapat 14 bank umum syariah, 20 unit usaha syariah, dan 162 BPR syariah. Di sektor pasar modal, ada 464 saham syariah, 145 sukuk korporasi, 282 reksadana syariah, dan 66 sukuk negara.
Sementara di industri keuangan nonbank terdapat 215 lembaga jasa keuangan syariah yang di antaranya termasuk perusahaan asuransi, pembiayaan, penjaminan dan lembaga keuangan mikro. "Jadi dari kelembagaan jumlahnya sudah cukup banyak," ujar Wimboh.
Menurut Wimboh, masa pandemi harus dijadikan momentum kebangkitan ekonomi dan keuangan syariah. OJK pun akan memfokuskan pengembangan keuangan syariah pada empat area.
Pertama, membangun sinergi integrasi ekonomi serta keuangan syariah dalam satu ekosistem syariah yang lengkap. Sinergi dan integritas antara sektor riil, keuangan komersial, dan keuangan sosial perlu dibangun sehingga ketiga sektor tersebut dapat tumbuh bersama-sama dengan melibatkan secara aktif berbagai pemangku kepentingan.
Kedua, penguatan kapasitas industri keuangan syariah. Wimboh mengatakan, jumlah industri keuangan syariah saat ini memang sudah banyak dan bervariasi. Namun, belum ada lembaga keuangan syariah yang besar. "Di industri perbankan misalnya, belum ada bank syariah buku 4," kata dia.
Ketiga, membangun permintaan terhadap produk keuangan syariah. Pembangunan keuangan syariah nasional akan sulit dilakukan jika permintaan tidak diciptakan.
Meskipun Indonesia berpenduduk muslim terbesar di dunia, tingkat literasi keuangan syariah masih rendah yakni hanya 8,11% dan tingkat inklusi keuangan syariah masih rendah yaitu 9,1%. Angka tersebut sangat rendah dibanding level yang dicapai bank konvensional.
Keempat, adaptasi digital yang lebih masif dalam ekonomi dan keuangan syariah. Apalagi, pandemi telah mempercepat proses digitalisasi dalam rangka memenuhi tuntutan kebutuhan masyarakat yang semakin pro digital di era new normal.
Sistem keuangan syariah Indonesia pada tahun lalu berhasil masuk jajaran lima besar terbaik dunia. Laporan Refinitiv yang bertajuk Islamic Finance Development Indicator (IFDI) menempatkan Indonesia di peringkat keempat.
Global Islamic Finance Report 2019 juga mencatat Indonesia mencapai peringkat 1 Dunia dalam pengembangan keuangan syariah. Pencapaian tersebut mengalahkan Malaysia, Iran, hingga Arab Saudi yang posisinya berada di bawah RI.
Meski industri keuangan syariah mencatatkan sejumlah catatan positif, Menteri Keuangan Sri Mulyani meilai segmen ekonomi syariah di dalam negeri masih sangat terbatas dibanding dengan ekonomi konvensiona. Peran industri keuangan syariah dalam kehidupan masyarakat perlu lebih ditingkatkan.
Peningkatan industri keuangan syariah pun harus terus ditunjukkan dalam indikator keuangan syariah yang dapat dikomparasikan dengan industri keuangan konvensional. "Tidak hanya dari kehadiran tetapi kemampuan memberi jawaban, efisiensi, teknologi, tata kelola, dan kepercayaan," katanya dalam kesempatan yang sama.
Sri Mulyani juga menekankan pentingnya penerapan etika Islam dalam ekonomi syariah harus terus ditingkatkan. Penerapan tersebut akan menjadi daya tarik dan daya saing yang luar biasa. Etika yang dimaksud yakni keadilan, jujur, kemampuan saling percaya, hingga tidak adanya korupsi dan manipulasi dalam ekonomi syariah.