OJK Perketat Manajemen Risiko Industri Keuangan Nonbank
Otoritas Jasa Keuangan memperketat manajemen risiko bagi industri keuangan nonbank di tengah pandemi Covid-19. Pelaku industri diminta menetapkan limit risiko sesuai dengan risiko yang diambil hingga menyusun rencana darurat untuk kondisi terburuk.
Hal ini dilakukan melalui penerbitan Peraturan OJK Nomor 44/POJK.05/2020 tentang manajemen risiko bagi lembaga jasa keuangan nonbank. POJK ini diteken Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso pada 28 Agustus 2020 dan diundangkan pada 2 September 2020.
Wimboh dalam aturan tersebut mewajibkan lembaga jasa keuangan nonbank untuk menerapkan manajemen risiko secara efektif. Penerapan kewajiban paling sedikit mencakup pengawasan aktif direksi, komisaris, dewan pengawas syariah; kecukupan kebijakan dan prosedur manajemen risiko serta penerapan limit risiko; kecukupan proses indentifikasi, pengukuran, pengendalian, dan pemantauan risiko, serta sistem informasi manajemen; dan sistem pengendalian internal menyeluruh.
Manajemen risiko harus diterapkan pada risiko strategis, operasional, asuransi, kredit, pasar, likuiditas, hukum, kepatuhan, dan reputasi. Perusahaan jasa keuangan wajib menetapkan wewenang dan taggung jawab yang jelas pada setiap jenjang jabatan dengan manajemen risiko sesuai dengan yang diatur dalam POJK tersebut.
Perusahaan juga harus membuat kebijakan manajemen risiko, paling sedikit mencakup, penetapan risiko terkait kegiatan usaha; penetapan pengginaan metode pengukuran dan sistem manajemen risiko, tingkat risiko yang akan diambil; penetapan toleransi risiko yang akan diambil dan limit risiko; penetapan penilaian peringat risiko, penyusunan rencana darurat dalam kondisi terburuk, dan penetapan sistem pengendalian internal.
Dalam pasal 11 dijelaskan bahwa penetapan limit risiko disesuaikan dengan tingkat risiko yang akan diambil pelaku industri. Penetapan limit risik wajib mencakup limit secara keseluruhan, per jenis risiko, dan per aktivitas fungsional dan transaksi tertentu yang memiliki eksposur risiko.
Perusahaan industri jasa keuangan sesuai dengan pasal 16 POJK tersebut juga diminta membuat ssitem pengendalian internal yang paling sedikit mampu mendeteksi kelemahan dan penyimpangan yang memengaruhi eksposur risiko.
Sistem pengendalian internal juga harus wajib memastikan kepatuhan manajemen terhadap kebijakan manajemen risiko dan peraturan perundang-undangan; kepatuhan dan efektivitas manajemen risiko, tersedianya informasi keuangan dan manajemen yang lengkap, akurat, tepat, dan tepat waktu; efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan bisnis dan operasiona; serta efektivitas budaya risiko pada perusahaan jasa keuangan secara menyeluruh.
OJK juga mewajibkan perusahaan jasa keuangan nonbank untuk membentuk komite manajemen risiko dan fungsi manajemen risiko. Komite manajemen risiko paling sedikit terdiri atas separuh anggota direksi dan pejabat eksekutif terkait.
Sedangkan struktur organisasi fungsi manajemen risiko disesuaikan dengan kompleksitas usaha dan risiko yang melekat pada perusahaan. Fungsi manajemen risiko bertanggung jawab langsung pada direktur utama atau yang setara.
Regulator jasa keuangan juga menegaskan larangan bagi perusahan jasa keuangan nonbank untuk menugaskan atau menyetujui direksi, komisaris, pengawas syariah atau pegawai untuk melaksanakan kegiatan usaha di luar LJKNB dengan menggunakan sarana dan fasilitas perusahaan.
Perusahaan jasa keuangan nonbank yang melanggar ketentuan dapat dikenankan sansi administratif hingga penurunan peringkat kesehatan dan penilaian ulang pihak utama LJKNB.
Direktur Eksekutif Asosiasi Asuransi Umum Indonesia Dody Dalimunthe menyebut pembaruan aturan melalui POJK tersebut dibutuhkan karena kegiatan usaha industri keuangan nonbank semakin meningkat dengan risiko yang semakin kompleks. Perkembangan tersebut perlu diimbangi dengan penerapan manajemen risiko yang memadai, efektif dan terukur.
"POJK 1/2015 sudah tidak menampung perkembangan kebutuhan hukum untuk peningkatan kualitas penerapan manajemen risiko LJKNB sehingga diganti dengan POJK 44/2020," ujar Dody kepada Katadata.co.id, Senin (5/10).
Dalam beleid baru ini, OJK memasukkan risiko hukum dan kepatuhan yang harus diantisipasi olehh manajemen dalam penerapan manajemen risiko. Hal ini, menurut Dody untuk mempertegas perlunya perusahaan memastikan tata kelola yang baik untuk memitigasi berbagai persoalan dalam operasional perusahaan.
"Beleid baru ini mengandung pengertian perlunya manajemen risiko hukum karena ada potensi tuntutan atau kelemahan aspek hukum, perlu manajemen risiko kepatuhan, dan manajemen risiko reputasi karena ada potensi persepsi negatif dapat menganggu operasional perusahaan." katanya.
Sementara itu, pengamat asuransi Irvan Rahardjo menjelaskan, POJK ini bersifat responsif terhadap kegagalan investasi pada pasar modal di hampir seluruh LJKNB, terutama industri asuransi. Namun, POJK ini masih mengatur manajemen risiko secara normatif.
"POJK ini tidak spesifik mengatur industri.Padahal, risiko yang dihadapi berbeda-beda antar industri. Industri asuransi jiwa dan kerugian saja sudah berbeda, apalagi antara perusahaan pembiayaan dan asuransi," katanya.
Selain itu, menurut Irvan, manajemen risiko LKNB sejak 2014 dilekatkan pada fungsi kepatuhan di bawah direktur kepatuhan. Dengan demikian manajemen risiko yang dilakukan bersifat pengawasan setelah terjadi risiko. Ini , menurut dia, tidak sesuai dengan objek manajemen risiko yang berfungsi mengukur, mitigasi, dan menerapkan strategi agar risiko tak terjadi. "POJK ini tidak membumi untuk menyelesaikan masalah riil di lapangan," ujarnya.
Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LD FEB UI) mengurutkan 17 sektor yang terdampak Covid-19. Industri jasa keuangan dan asuransi berada di urutan kedua paling terdampak.