Sri Mulyani: Porsi Asing dalam Utang Pemerintah Turun di Bawah 30%
Porsi asing dalam utang pemerintah tercatat menurun hingga berada di bawah 30%. Menteri Keuangan Sri Mulyani menegaskan, pinjaman pemerintah hingga penarikan surat berharga negara kini mayoritas berasal dari dalam negeri.
"Porsi asing dalam utang kita saat ini 30%, bahkan sekarang sudah turun," ujar Sri Mulyani dalam Kompetisi Debat APBN, Senin (26/10).
Berdasarkan data Direktorat Pengelolaan Pembiayaan dan Resiko Kementerian Keuangan, porsi kepemilikan asing pada surat utang negara anjlok dari 38,57% pada akhir 2019 menjadi 26,17% per 20 Oktober 2020. Surat utang negara yang digenggam juga turun dari Rp 1.061,88 triliun menjadi Rp 949,82 triliun.
Sementara itu, kepemilikan perbankan pada surat utang negara hingga 20 Oktober 2020 mencapai Rp 1.354,57 triliun, naik 132,8% dari posisi akhir tahun lalu Rp 581,37 triliun. Porsi kepemilikan pun melesar dari 21,12% menjadi 38,16%. Sementara itu, porsi kepemilikan asing anjlok dari 38,57% menjadi 26,17%. Surat utang negara yang digenggam juga turun dari Rp 1.061,88 triliun menjadi Rp 949,82 triliun.
Adapun kepemilikan lembaga nonbank pada surat utang negara menurun dari 69,34% pada akhir 2019 menjadi 55,47%. Namun secara nominal masih meningkat dari Rp 1.908,88 triliun menjadi Rp 1967,96 triliun.
Sri Mulyani menyebut kondisi pandemi membuat pemerintah di seluruh negara dihadapkan dengan pilihan yang tidak mudah. Belanja negara harus ditingkatkan di tengah penerimaan negara yang sangat anjlok karena para pembayar pajak mengalami penurunan pendapatan. Mau tidak mau utang harus ditambah guna menambal defisit pada APBN.
Bendahara Negara menjelaskan bahwa keputusan tersebut tidak mudah. "Karena kami juga tidak ingin memberikan warisan utang ke generasi ke depan," kata dia.
Ekonom Center Of Reform on Economics Yusuf Rendy Manilet berharap penurunan kepemilikan asing pada surat utang pemerintah bisa menjadi momentum membenahi sumber pembiayaan pemerintah. Meski kepemilikan asing yang besar bisa mencerminkan kepercayaan investor asing, tetapi ada resiko volalitilas pada nilai tukar rupiah jika terjadi gejolak,
"Apalagi Covid-19 mengajarkan pemerintah bahwa sebenarmya langkah-langkah out of the box seperti burden sharing bisa dilakukan, tergantung dari kemauan pemerintah," ujar Yusuf kepada Katadata.co.id, Senin (26/10).
Kementerian Keuangan mencatat posisi utang pemerintah mencapai Rp 5.756,87 triliun pada September 2020, melesat lebih dari Rp 1.000 triliun dibandingkan periode yang sama tahun lalu Rp 4.700,28 triliun. Kenaikan utang terjadi karena pelemahan ekonomi akibat Covid-19 serta peningkatan kebutuhan pembiayaan untuk menangani masalah kesehatan dan pemulihan ekonomi nasional.
Posisi utang pemerintah pada September 2020 juga meningkat dari Agustus 2020 yang tercatat Rp 5.594,93 triliun. "Dengan demikian rasio utang pemerintah terhadap produk domestik bruto sebesar 36,41%," ujar Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam buku APBN KiTa edisi Oktober 2020 yang dirilis, Kamis (22/10).
Secara perinci, utang pemerintah pusat masih didominasi oleh surat berharga negara dengan komposisi 85% atau sebesar Rp 4.892,57 triliun. Sisanya, berbentuk pinjaman sebanyak Rp 864,29 triliun.
Lebih perinci, SBN terdiri dari SBN domestik Rp 3.629,04 triliun dan valas Rp 1.263,54 triliun. SBN domestik berbentuk surat utang negara Rp 2.973,01 triliun dan surat berharga syariah negara Rp 656,03 triliun. Adapun SBN valas terdiri atas SUN Rp 999,49 triliun dan SBSN Rp 264,05 triliun.
Sementara itu, pinjaman pemerintah terdiri dari pinjaman dalam negeri Rp 11,32 triliun dan pinjaman luar negeri Rp 852,97 triliun yang berbentuk bilateral Rp 318,18 triliun, multilateral Rp 489,97 triliun, dan bank komersial Rp 44,82 triliun.