Cegah Pegawai Stres, Sri Mulyani Ubah Waktu Rapat setelah Jam Sekolah

Agatha Olivia Victoria
26 Oktober 2020, 20:18
Sri mulyani, kementerian keuangan, belajar dari rumah, bekerja dari rumah, pandemi covid-19, WFH
instagram/@smindrawati
Menteri Keuangan Sri Mulyani memberikan jam kerja yang lebih fleksibel kepada para pegawainya saat bekerja di rumah untuk mendukung kegiatan belajar anak.

Survei yang dilakukan Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan menemukan tingkat stres selama bekerja dari rumah lebih tinggi dibandingkan di kantor. Bekerja dari rumah menuntut pegawai yang memiliki anak bekerja sekaligus mendamping anak belajar dari rumah.

Melihat kondisi tersebut, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatur jadwal rapat di kementeriannya agar  tidak bersamaan dengan jam sekolah. "Jadi office hour bisa lebih fleksibel," kata Sri Mulyani dalam acara Cerita di Kemenkeu Mengajar, Senin (26/10).

Rapat di Kementerian Keuangan saat ini dimulai pukul 14.00 WIB hingga 20.00 WIB. Dengan demikian, orang tua bingung mendampingi anaknya yang bersekolah dari rumah  sejak pagi hingga siang hari. "Karena anak-anak tidak mungkin mandiri melakukan itu," katanya.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim tak menampik bahwa proses pembelajaran jarak jauh (PJJ) saat ini memang menghadapi masalah yang tidak mudah. Salah satunya, masih sulitnya pendampingan orang tua yang juga sedang bekerja dari rumah.

"Kalau orang tua tidak punya caar berkontribusi dalam ini. Paling tidak berikan waktu untuk anak-anak anda. Harus carikan waktu," kata Nadiem dalam kesempatan yang sama.

Merujuk data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, setidaknya 68,7 juta peserta didik melakukan PJJ di semua jenjang pendidikan. Terbanyak di jenjang Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah/sederajat, yakni 28,5 juta peserta didik.

Hasil survei Wahana Visi Indonesia periode 12-18 Mei 2020 terhadap 900 rumah tangga dan 943 anak di sembilan provinsi mendapati PJJ ternyata menciptakan masalah psikis pada anak. Mayoritas (47%) anak mengaku bosan tinggal di rumah.

Masalah terbesar kedua adalah khawatir ketinggalan pelajaran (35%). Tekanan psikis lainnya, adalah takut tertular Covid-19 (34%), merindukan teman-teman (20%), merasa tidak aman (15%), dan khawatir akan penghasilan orang tua (10%).

Masalah psikis ini masih ditambah kekerasan pada anak selama PJJ. Setidaknya 61,5% anak mengaku merasa mengalami kekerasan verbal. Lalu, 11,3% merasa mengalami kekerasan fisik.

Namun, hasil survei kepada orang tua berbanding terbalik, yakni 64% menyatakan sudah melakukan pengasuhan prositif tanpa kekerasan. Perbedaan pengakuan ini mengisyaratkan belum sepenuhnya tercipta kesepahaman pola interaksi antara orang tua dan anak.

Selama PJJ anak sangat membutuhkan pendampingan orang tua. Terlihat dari 21% anak yang mengaku tidak memahami instruksi guru dan 30% yang sulit memahami mata pelajaran. Selain itu, 37% anak mengaku tidak bisa mengatur waktu belajar.

Bank Dunia sebelumnya memperkirakan kegiatan belajar daring dapat mempengaruhi pendapatan siswa di masa depan. Rata-rata pendapatan siswa di wilayah Asia Timur dan Pasifik berpotensi hilang US$ 865 atau setara Rp 12,72 juta per tahun saat bekerja. "Ini setara dengan pengurangan, rata-rata sebesar empat persen dari pendapatan yang diharapkan per tahun jika pandemi Covid-19 tak terjadi," kata Bank Dunia dalam Laporan untuk Kawasan Asia Timur dan Pasifik edisi Oktober.

Proyeksi tersebut dihitung menggunakan data paritas daya beli atau purchasing power parity negara-negara di kawasan Asia Timur dan Pasifik pada 2017 sebagai dasar perhitungan. Para siswa di negara berpendapatan tinggi kawasan ini akan menghadapi potensi pengurangan pendapatan paling tinggi mencapai US$ 2.000 per tahun. 

Reporter: Agatha Olivia Victoria
Editor: Agustiyanti

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...