Sri Mulyani: UU Cipta Kerja Jawab Tren Perpajakan Global
Pemerintah merevisi empat aturan terkait perpajakan dalam UU Cipta Kerja. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menilai UU tersebut mampu menjawab tren perpajakan global. Melalui beleid itu, Indonesia dapat memaksimalkan penerimaan pajak digital.
"Sehingga ini tidak hanya untuk kemudahan berusaha," kata Sri Mulyani dalam acara Serap Aspirasi Implementasi UU Cipta Kerja Bidang Perpajakan, Kamis (19/11).
Dia pun menegaskan perlunya meyakini investor bahwa Indonesia bisa menjaga hak perpajakannya dalam tren digitalisasi. Di sisi lain, UU Cipta Kerja juga membuat daya tarik RI di bidang perpajakan lebih kompetitif.
Menurut Sri Mulyani, pajak sangat menentukan daya tarik investor untuk menanamkan modalnya, tak hanya asing tetapi juga domestik. Indonesia selama ini hanya unggul dari sisi market size, sementara daya saingnya masih tertinggal dari negara lain. "Jadi Indonesia harus melakukan transformasi, khususnya di bidang ekonomi, ke arah yang lebih positif dan punya nilai tambah," ujarnya.
Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini menyebutkan bahwa kepastian perpajakan memang sangat penting bagi dunia usaha agar bisa menciptakan playing field yang semakin baik. Revisi aturan perpajakan dalam UU Cipta Kerja juga diharapkan dapat meningkatkan kepatuhan sukarela wajib pajak, serta memberikan kepastian hukum dan keadilan iklim usaha.
Selain RPP Perpajakan yang memuat 8 pasal, disusun pula RPP Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dalam rangka meningkatkan daya saing darrah, mendukung kemudahan berbisnis, dan memperkuat penyelarasan kebijakan pajak antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Saat ini, pemerintah tengah menyelesaikan 44 peraturan pelaksanaan dari UU Cipta Kerja, yang terdiri atas 40 RPP dan 4 RPerpres. Seluruh draf RPP dan Rperpres dapat diunduh dan diberikan masukan oleh dunia usaha dan masyarakat melalui portal UU Cipta Kerja di laman www.uu-ciptakerja.go.id. Sampai saat ini, telah diunggah sebanyak 29 RPP.
Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia Suryadi Sasmita berharap dengan adanya revisi ketentuan pajak dalam UU Cipta Kerja, pemerintah bisa lebih aktif untuk melakukan ekstensifikasi. "Mengingat masih banyaknya pengusaha yang belum bayar pajak," kata Suryadi dalam kesempatan yang sama.
Ekstensifikasi adalah kegiatan pengawasan yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan terhadap Wajib Pajak yang telah memenuhi syarat subjektif dan objektif namun belum mendaftarkan diri untuk diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Kegiatan ini dilaksanakan oleh Kantor Pelayanan Pajak Pratama melalui Seksi Ekstensifikasi dan Penyuluhan.
Menurut Suryadi hal tersebut dapat membantu peningkatan rasio pajak alias tax ratio. Selain itu, sosialisasi mengenai beleid tersebut juga harus digiatkan. "Dengan begitu investasi masuk, pajak masuk, dan pengangguran berkurang," ujarnya.
Sejak 2015, rasio perpajakan Indonesia terhadap produk domestik bruto (PDB) masih berfluktuasi. Pada 2015, rasio pajak Indonesia masih di titik 10,76% dari PDB. Angkanya perlahan menurun pada 2016 dan 2017, menjadi 10,36% dan 9,89%.
Pengamat Pajak Danny Darussalam Tax Center Darussalam menilai, implementasi UU Cipta Kerja Bidang Perpajakan harus dikawal terutama pada perubahan skema pajak atas dividen bagi wajib pajak orang pribadi. "Sebelum UU Cipta Kerja ini untuk dividen dampaknya kena pajak efektif 32,5%, tapi dalam UU Cipta Kerja sudah mulai diperkenalkan tarif pajak efektif ada pada level PPh badan," kata Darussalam.
Pengawalan perlu dilakukan agar aturan turunan bisa sesuai tujuan. Tujuan tersebut, yakni meningkatkan kegiatan investasi, meningkatkan kepatuhan sukarela, menciptakan lapangan kerja, memberikan kepastian hukum, serta mendukung iklim usaha yang kondusif. Dengan demikian, transparansi harus terus dilakukan dengan optimal.