Potensi Melajunya Inflasi dari Pemulihan Daya Beli Tahun Ini

Agatha Olivia Victoria
4 Januari 2021, 19:06
daya beli, inflasi, pandemi corona
123rf.com
Ilustrasi. Inflasi 2021 diperkirakan meningkat seiring mulaih pulihnya daya beli.

Pandemi Covid-19 memukul daya beli masyarakat dan membawa inflasi pada 2020 hanya mencapai 1,68%, terendah sejak Badan Pusat Statistik pertama kali mengumumkannya pada 1966. Namun, daya beli masyarakat diperkirakan membaik dan berpotensi mengerek permintaan serta inflasi pada tahun ini. 

Deputi Bidang Distribusi, Statistik, dan Jasa Setianto menjelaskan, inflasi pada tahun lalu, jauh lebih rendah dibandingkan 2019 yang mencapai 2,72% Angka inflasi ini juga lebih rendah dari target Bank Indonesia yang berada pada rentang 2% hingga 4%.

"Inflasi 2020 sebesar 1,68% merupakan inflasi tahunan terendah sejak BPS merilis angka inflasi," ujar Deputi Bidang Distribusi, Statistik, dan Jasa Setianto dalam Konferensi Pers Pengumuman Inflasi pada Senin (4/1).

Berdasarkan kelompok pengeluaran, inflasi pada sepanjang tahun lalu disumbang oleh kelompok makanan dan minuman, serta kesehatan masing-masing sebesar 3,63% dan 2,79%. Selain itu terdapat dua kelompok pengeluaran yang mengalami deflasi yakni transportasi 0,85% serta informasi, komunikasi, dan keuangan 0,35%. 

Sementara berdasarkan komponennya, kelompok harga barang yang bergejolak mengalami inflasi 3,62%, kelompok harga yang diatur pemerintah sebesar 0,35%, dan inflasi inti 1,6%.  Adapun sejumlah komoditas yang menurut Setianto memberikan andil besar pada inflasi tahun lalu, yakni emas perhiasan, cabai merah, minyak goreng, rokok kretek, rokok filter daging ayam, ikan segar, nasi dan lauk pauk, serta uang masuk kuliah.

Kepala Ekonom BCA David Sumual menjelaskan, inflasi yang rendah pada tahun lalu disebabkan oleh daya beli masyarakat yang lemah akibat pandemi Covid-19. Banyak masyarakat kalangan menengah atas yang juga menahan belanja.

Daya beli yang lemah juga masih terlihat pada bulan lalu yang ditunjukkan oleh angka inflasi inti yang semakin menurun dibandingkan November. 

"Tahun ini berbeda karena ada pandemi. Tidak seperti tahun lalu, banyak orang malas berlibur karena harus rapid test antigen dan banyak tempat wisata yang tutup," ujar David kepada Katadata.co.id, Senin (4/1). 

Inflasi secara keseluruhan pada Desember mencapai 0,45%, meningkat dibandingkan bulan sebelumnya 0,13%. Namun, Inflasi inti terus menurun sejak Oktober dan hanya mencapai 0,05% pada Desember, lebih rendah dibandingkan bulan sebelumnya 0,06%. Penurunan inflasi inti sudah terjadi sejak Oktober.  Adapun secara tahunan, inflasi inti pada Desember tercatat 1,6%.

"Inflasi inti ini terkait dengan agregat permintaan sehingga inflasi inti yang rendah menunjukkan daya beli yang masih lemah," katanya. 

Antisipasi Pemulihan Daya Beli

David memperkirakan daya beli akan membaik pada awal tahun ini seiring ketersediaan vaksin. Mulai berjalannya vaksinasi akan meningkatkan kepercayaan masyarakat untuk berbelanja. 

"Kenaikan permintaan ini harus diantisipasi jangan sampai menimbulkan lonjakan inflasi karena suplai yang tidak mencukupi. Kapasitas pabrik  saat ini banyak yang sudah diturunkan karena permintaan rendah. Yang dikhawatirkan permintaan naik, tetapi kapasitas pabrik belum dapat menyesuaikan," kata David. 

Kenaikan permintaan jika tak diiringi dengan suplai menurut David, dapat menimbulkan lonjakan inflasi. Hal ini perlu diantisipasi dengan memastikan kapasitas industri untuk memenuhi suplai.  Selain itu, kanaikan iuran BPJS Kesehatan dan cukai turut berpotensi mengerek inflasi. 

"Kenaikan iuran BPJS dan cukai akan berpengaruh ke inflasi, tapi tidak banyak. Kenaikan permintaan ini yang akan mendorong inflasi, tapi untuk sepanjang tahun ini kemungkinan tak akan melampaui target BI 2%-4%," katanya. 

Ekonom CORE Indonesia Yusuf Rendy Manilet juga memperkirakan kenaikan iuran BPJS tak akan berperngaruh signifikan terhadap inflasi karena sumbangan pembayaran asuransi hanya mencapai 5% dari konsumsi per kapita masyarakat untuk kelompok bukan makanan. Namun, kenaikan cukai yang berpengaruh pada rokok perlu diantisipasi karena rokok memberikan sumbangan terbesar kedua setelah makanan dan minuman. 

"Porsi rokok terhadap konsumsi mencapai 12% jadi ini perlu diantisipasi," katanya. 

Berdasarkan simulasi Kementerian Keuangan, kenaikan tarif cukai akan mengerek harga Sigaret Kretek Mesin (SKM)  dari Rp 455-740/batang menjadi Rp 525-865/batang. Demikian pula dengan, Sigaret Putih Mesin (SPM) naik dari Rp 470-790/batang menjadi Rp 555-935/batang. Sedangkan, golongan rokok lainnya yakni Sigaret Kretek Tangan (SKT) harganya tidak berubah tetap di kisaran Rp 110-425/batang.

 Meski demikian, Rendi juga menilai perbaikan ekonomi dan daya beli akan menjadi pendorong utama inflasi pada tahun depan. Ia memperkirakan inflasi pada 2021 akan berada pada rentang 2% hingga 3%. "Inflasi harga yang diatur pemerintah kemungkinan relatif masih akan stabil di tahun depan, seiring dengan kebijakan lanjutan diskon listrik diperpanjang hingga Maret 2020," katanya. 

Ekonom INDEF Esther Sri Astuti memperkirakan inflasi tetap berada pada tren yang rendah selama pandemi masih menjangkit.  Hal ini lantaran pandemi membuat konsumsi masyarakat akan tetap tertahan. 

"Selama konsumsi belum terdongkrak, inflasi akan tetap rendah. Kenaikan iuran BPJS Kesehatan dan tarif cukai tidak akan signifikan." katanya. 

 

Editor: Agustiyanti

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...