Posisi Indonesia di Tengah Peluang Besar Ekonomi Tiongkok Menyalip AS
- Tiongkok menjadi satu-satunya negara ekonomi utama yang tumbuh pada tahun lalu.
- Ekonomi Tiongkok berpotensi menyalip Amerika Serikat pada 2028.
- Indonesia memiliki hubungan dagang dan investasi yang erat dengan Tiongkok dan AS.
Saat ekonomi banyak negara anjlok pada kuartal II 2020 akibat merebaknya Covid-19, Tiongkok justru mulai berangsur pulih. Negara Tembok Raksasa ini menjadi satu-satunya ekonomi utama dunia yang berhasil tumbuh pada tahun lalu dan berpotensi segera menyalip Amerika Serikat sebagai negara dengan ekonomi terbesar.
Pertumbuhan ekonomi Tiongkok yang mencapai 2,3% pada sepanjang tahun lalu, sebenarnya merupakan yang terendah sejak revolusi budaya pada 1976. Namun, pertumbuhan ini berada di atas ekspektasi banyak pihak dan jauh lebih baik dari kontraksi ekonomi yang dialami hampir semua negara.
Nomura Holdings semula memperkirakan ekonomi Tiongkok akan melampaui AS pada 2030. Namun, kinerja kinclong ekonomi Negara Tembok Raksasa ini pada tahun lalu membuat lembaga ini memperbarui proyeksi yakni menjadi pada 2028. Tiongkok bahkan dapat menyalip AS lebih cepat yakni pada 2026 jika renminbi terus menguat.
"Pandemi memberikan pukulan yang jauh lebih besar bagi ekonomi AS daripada Tiongkok. Dalam pandangan kami, ada kemungkinan besar 2026 menjadi tonggak sejara di mana Tiongkok muncul sebagai ekonomi terbesar dunia," demikian tertulis dalam laporan Nomura dikutip dari Fortune, Selasa (19/1).
Kemampuan Tiongkok untuk menumbuhkan ekonomi tak lepas dari keberhasilan negara ini mengendalikan penyebaran virus. Sejak awal penyebaran, pemerintah Tiongkok mengambil langkah ekstrim dengan mengisolasi kota Wuhan. Jumlah kasus Covid-19 pun dapat dikendalikan sejak April 2020 saat lonjakan kasus justru terjadi di banyak negara, salah satunya Amerika Serikat.
Amerika Serikat saat ini menjadi negara dengan jumlah kasus dan kematian tertinggi akibat Covid-19. Berdasarkan data worldometers.info hingga Selasa (19/1), jumlah kasus mencapai 24,6 juta dan kematian mencapai 2,05 juta orang.
Dikutip dari Business Insider, The Fed memproyeksi ekonomi AS pada tahun ini akan terkontraksi 2,4%. Namun, berpotensi tumbuh 4,2% pada tahun ini.
Banyak pihak bahkan optimistis ekonomi AS mampu tumbuh lebih baik pada tahun ini meski kasus Covid-19 belum terkendali. Ekonomi AS terutama akan didorong paket stimulus Presiden Terpilih Joe Biden. Mantan Wapres AS di era Obama yang siap dilantik Rabu (20/1) ini berencana menggelontorkan stimulus mencapai US$ 1,9 triliun.
Goldman Sachs memproyeksi ekonomi AS tahun ini lebih baik di tangan Biden. Dalam catatan yang diberikan kepada klien mereka, bank investasi global ini memproyeksi ekonomi AS akan tumbuh 6,6%, lebih baik dari proyeksi sebelumnya 6,4%. Tingkat pengangguran juga diramal menurun dari 4,8% menjadi 4,5% pada akhir 2021.
Sementara itu, Bank Dunia memproyeksi ekonomi AS tumbuh 3,5%, sedangkan IMF meramal naik 3,9%.
Meski demikian, ekonomi Tiongkok pada tahun depan diproyeksi tumbuh lebih cepat. Bank Dunia memprediksi ekonomi Tiongkok naik 7,9%, sedangkan IMF memproyeksi tumbuh 8,2%.
Kepala Biro Statistik Tiongkok Ning Jizhe mengatakan bahwa akan ada banyak kondisi yang menguntungkan untuk mempertahankan pemulihan ekonomi Tiongkok pada 2021. Ia merujuk kondisi pasar yang besar dan rantai pasokan yang tangguh. Tahun ini juga menandai dimulainya rencana lima tahun ke-14 Tiongkok, yang menurut pembuat kebijakan, penting untuk mengarahkan ekonomi keluar dari jebakan negara kelas menengah.
Tingkok masih menghadapi banyak tantangan, tidak terkecuali ketegangan antara Beijing dan Washington di bawah pemerintahan baru AS yang akan dipimpin oleh Presiden terpilih Joe Biden. Selain itu, kenaikan biaya tenaga kerja, populasi yang menua, dan lonjakan kredit macet baru-baru ini menambah risiko ekonomi terbesar kedua dunia ini.
Jumlah kasus Covid-19 yang kembali meningkat pada awal tahun ini juga telah membuat pemerintah Tiongkok mengambil langkah karantina yang ketat di dua kota. Kekhawatiran kembali terjadinya lonjakan kasus membuat konsumsi rumah tangga yang menjadi pendorong utama pertumbuhan negara berpenduduk terbesar di dunia ini berada di bawah perkiraan para ekonom pada akhir tahun lalu. Penjualan retail turun 3,9% secara tahunan pada tahun lalu, menandai kontraksi pertama sejak 1968.
Posisi Indonesia di Tengah Dua Kekuatan Ekonomi
Indonesia memiliki hubungan dagang dan investasi yang erat dengan dua negara ekonomi terbesar dunia. Tongkok saat ini menjadi negara tujuan ekspor dan impor terbesar Indonesia. Namun, surplus perdagangan terbesar dicatatkan Indonesia dengan Amerika Serikat.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, ekspor Indonesia ke Tiongkok pada tahun lalu naik 15,59% dari US$ 25,89 miliar menjadi US$ 29,93 miliar. Sementara impor dari negara tersebut turun dari US$ 44,6 miliar menjadi US$ 39,35 miliar.
Indonesia masih mencatatkan defisit perdagangan yang besar dengan Tiongkok pada tahun lalu US$ 9,42 miliar. Namun, defisit tersebut turun dibandingkan 2019 yang mencapai US$ 16,97 miliar,
Sementara dengan Amerika Serikat, ekspor Indonesia pada tahun lalu naik 4,58% menjadi US$ 16,2 miliar. Di sisi lain, impor dari AS turun dari US$ 8,1 miliar menjadi US$ 7,48 miliar. Neraca perdagangan Indonesia surplus dari AS mencapai US$ 11,13 miliar.
"Surplus perdagangan kita paling besar dengan Amerika Serikat, sedangkan defisit paling besar dengan Tiongkok pada tahun lalu," kata Direktur Statistik BPS Efliza Yusuf kepada Katadata.co.id pekan lalu.
Ekonom Bank Permata Josua Pardede menjelaskan, perbaikan kinerja ekspor dalam beberapa bulan terakhir menjelang tutup tahun 2020 terutama ditopang oleh pemulihan ekonomi Tiongkok. Harga komoditas yang menjadi andalan ekspor Indonesia meningkat seiring pemulihan ekonomi Negara Tembok Raksasa itu.
Ia juga memproyeksi aktivitas ekonomi Tiongkok pada tahun inih cenderung lebih cepat dibanding negara lainnya. Kondisi ini akan menjadi pendorong utama kinerja ekspor Indonesia pada kuartal pertama tahun ini mengingat Negara Tembok Raksasa ini merupakan tujuan ekspor terbesar Indonesia.
Sejalan dengan peningkatan ekspor, bisnis usaha yang terkait dengan komoditas ekspor juga berpotensi ikut terdampak. "Spillover dari ekspor ini harus dimanfaatkan oleh pemerintah dengan cara memberikan keringanan ekspor, terutama untuk eksportir komoditas, dengan harapan dampaknya akan teramplifikasi," kata Josua kepada Katadata.co.id, Selasa (19/1).
Tiongkok saat ini juga merupakan negara penanam modal asing terbesar kedua setelah Singapura. Berdasarkan data Badan Koordinasi Penanaman Modal, investasi Tiongkok di Indonesia pada Januari-September 2020 mencapai US$ 3,5 miliar. "Dengan pertumbuhan ekonomi Tiongkok yang lebih tinggi, ini diharapkan mendukung upaya Indonesia keluar dari jebakan negara berpenghasilan menengah pada 2045 dan mendudukkan Indonesia sebagai peringkat ke 5 PDB di dunia," katanya.
Namun, menurut dia, pemerintah perlu mempercepat transformasi struktur ekonomi yang lebih sustainable guna mendorong peningkatan fundamental ekonomi.
Di sisi lain, data BKPM menunjukkan investasi asal AS pada Januari-September 2020 menempati posisi kedelapan dengan nilai investasi US$ 480,1 juta, turun dibandingkan tahun sebelumnya US$ 757,14 juta pada periode yang sama tahun lalu. Adapun BKPM hanya mencatat investasi di sektor riil, tak mencakup sektor migas dan keuangan.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan bercerita pernah mendapat pertanyaan dari Amerika Serikat terkait kedekatan Indonesia dengan Tiongkok. Namun, ia merespons dengan mengatakan bahwa ini merupakan kesalahan AS karena tidak pernah mencoba berhubungan dekat dengan Indonesia dalam lima tahun terakhir.
"Saya kalau ke Tiongkok ketemu orang langsung ditanggapi dengan bagus, jaraknya kami lebih dekat, budayanya. Jadi jangan salahkan kami. Bukan berarti kami tidak terbuka dengan AS," ujar Luhut saat berbincang dalam Youtube Channel milik Dahlan Iskan, akhir tahun lalu.
Namun, hubungan Amerika Serikat dengan Indonesia belakangan kian mesra. Luhut menyebut Indonesia menjadi satu-satunya negara yang mendapat perpanjangan fasillitas perdagangan GSP (Generalized System of Preference) yang merupakan pembebasan tarif bea masuk kepada negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Pada masa pemerintahan Trump, fasilitas ini dikaji ulang untuk menekan defisit neraca perdagangan AS.
"Ini hasil setelah berunding selama satu tahun. Kita satu-satunya yang dapat. India, Vietnam, dan Thailand, fasilitas GSP mereka dicabut," kata Luhut.
Selain itu, menurut dia, banyak perusahaan AS yang tertarik untuk berinvestasi di Indonesia. Salah satunya melalui Indonesia Investment Authority, lembaga pengelola investasi yang akan beroperasi pada awal tahun ini. Saat ini, Indonesia telah mengantongi komitmen dari United States International Development Finance Corporation senilai US$ 2 miliar.
"Dengan DFC ini masuk,BlackRock, Blackstone, Carlyle, semua manajer investasi besar ini tertarik untuk masuk," kata Luhut.