Tekan Defisit APBN pada 2023, Sri Mulyani Bakal Pangkas Belanja Negara
Pemerintah menjanjikan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara kembali di bawah 3% pada 2023. Menteri Keuangan Sri Mulyani menargetkan defisit APBN pada tahun tersebut turun menjadi 2,7% hingga 2,97% terhadap PDB atau Rp 524 triliun hingga Rp 589,15 triliun dari target 5,7% PDB atau Rp 1.006 triliun pada tahun ini.
"Kami akan terus mendesain defisit agar secara bertahap menurun pada 2023-2025," ujar Sri Mulyani dalam Rapat Kerja bersama Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat, Senin (31/5).
Berdasarkan bahan paparan Kementerian Keuangan, pendapatan negara pada 2023 akan mencapai 10,19% hingga 10,89% terhadap PDB, sedangkan belanja negara mencapai 12,9% hingga 13,86% PDB. Adapun PDB diproyeksikan mencapai Rp 19.428 triliun hingga Rp 19.838,6 triliun.
Dengan demikian, pendapatan negara akan mencapai Rp 1.463 triliun hingga Rp 2.160,42 triliun, sedangkan belanja negara mencapai Rp 2.505 triliun hingga Rp 2.692,7 triliun pada 2023. Target pendapatan negara itu berpotensi lebih tinggi atau lebih rendah dari terget tahun ini yang mencapai Rp 1.743,6 triliun, sedangkan target belanja negara turun dari Rp 2.750 triliun.
Sementara itu, Kementerian Keuangan memproyeksikan pembiayaan investasi minus 0,2% hingga 0,25% terhadap PDB dengan rasio utang mencapai 43,21% hingga 43,99% PDB.
Sri Mulyani menyebutkan, penurunan bertahap defisit anggaran dapat membuat APBN lebih sehat dan mampu mendukung pemulihan ekonomi secara berkelanjutan. Ia menekankan, kombinasi pemulihan ekonomi dan konsolidasi fiskal bukanlah langkah yang mudah untuk dijalankan.
Menurut Sri Mulyani, terdapat tiga hal yang akan mewarnai postur APBN dalam jangka menengah panjang, yakni pemulihan ekonomi yang tetap berlanjut, konsolidasi fiskal, dan pengendalian Covid-19. "Namun ini akan tetap dihadapkan pada ketidakpastian." ujarnya.
Bendahara Negara memprediksikan pertumbuhan ekonomi akan mencapai 5,3-6,1%. pada 2023, lalu meningkat menjadi 5,4-6,3% pada 2024 dan 5,5-6,5% pada 2025.
Lembaga pemeringkat Standard and Poor’s (S&P) pernah menekankan tantangan yang dihadapi Indonesia setelah pandemi adalah mengembalikan rasio defisit fiskal ke 3% pada tahun 2023. Konsolidasi fiskal di Indonesia diperkirakan berjalan secara gradual dengan defisit fiskal yang menyempit pada 2021 menjadi 5,7% terhadap PDB dan 4,2% PDB pada 2022.
"Pemerintah harus komitmen untuk mengembalikan disiplin fiskal, meskipun ketidakpastian akibat pandemi masih sangat tinggi," tulis S&P dalam keterangan resminya, pertengahan bulan April 2021.
Langkah komprehensif pemerintah dalam penanganan Covid-19 dianggap lembaga tersebut mampu meredam dampak sosio-ekonomi yang lebih dalam. S&P memproyeksikan ekonomi Indonesia akan pulih dan tumbuh 4,5% pada tahun 2021 dan 5,4% pada 2022.
S&P juga menyebutkan bahwa laju pemulihan ekonomi Indonesia akan bergantung pada kecepatan dan efektivitas program vaksinasi. Kebijakan pengendalian pandemi secara global juga mempengaruhi pemulihan ekonomi Indonesia, terutama terkait pemulihan sektor berorientasi ekspor dan pariwisata.
Lembaga Pemeringkat Global Fitch Ratings juga menilai pemerintah harus mempercepat konsolidasi fiskal mulai 2022, setelah dampak pandemi mereda. Lembaga ini memperkirakan defisit fiskal akan turun menjadi 5,6% pada 2021 dari 6,1% pada tahun lalu atau sejalan dengan target pemerintah. "Kami memperkirakan rasio pendapatan akan meningkat secara bertahap menjadi 12,3% dari PDB pada tahun 2021 dan 12,8% pada tahun 2022 seiring dengan pemulihan ekonomi, dari 12,1% pada tahun 2020," kata Fitch dikutip dari siaran pers, akhir Maret 2021.
Menurut Fitch, dampak pandemi pada metrik fiskal Indonesia tidak separah kebanyakan negara lain. Pelebaran defisit fiskal pada tahun 2020 lebih kecil dari kenaikan rata-rata negara-negara dengan peringkat utang BBB . Sepanjang 2020, pemerintah mencatatkan defisit anggaran Rp 956,3 triliun atau 6,09% dari PDB.