Kenaikan Tarif PPN Hanya untuk Barang Mewah, Pajak Barang Publik Turun
Pemerintah berencana merubah tarif pajak pertambahan nilai (PPN) dengan skema multi tarif pada tahun depan. Dengan perubahan skema ini, pemerintah akan menurunkan tarif PPN untuk barang publik.
Skema multi tarif merupakan pengenaan tarif lebih rendah untuk barang-barang dan jasa tertentu yang dibutuhkan masyarakat berpenghasilan rendah dan tarif lebih tinggi untuk barang-barang mewah. Multi tarif PPN telah dianut oleh banyak negara karena dianggap memperhatikan rasa keadilan karena pengenaan tarif yang lebih tinggi untuk barang mewah atau sangat mewah. Negara-negara yang telah menganut multi tarif kebanyakan berada di Eropa. Misalnya, Austria, Kolombia, Republik Ceko, Prancis, Yunani, hingga Turki.
Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo mengatakan, tarif PPN untuk barang publik akan diturunkan dari saat ini sebesar 10%. "Kemungkinan nanti bisa dikenai 7% atau 5%," ujar Yustinus dalam Webinar Ekonomi Pulih Menuju Kebangkitan Nasional, Kamis (3/6).
Sebaliknya, Yustinus mengatakan, tarif PPN yang lebih tinggi akan dikenakan kepada barang-barang yang tidak dibutuhkan masyarakat banyak, tetapi dikonsumsi kelompok atas dan sifatnya terbatas. "Itu yang sekarang sedang dirancang, bagaimana sistem PPN lebih efektif, kompetitif, menciptakan keadilan, dan berdampak baik terhadap perekonomian," katanya.
Saat ini, menurut dia, payung hukum penyesuaian tarif PPN sedang dirancang. Namun, kebijakan tersebut kemungkinan baru akan diterapkan pada 2022 atau 2023.
Yustinus menjelaskan, penerimaan pajak tak dapat dikejar secara agresif di tengah pandemi. Untuk itu, diperlukan berbagai reformasi perpajakan guna menyehatkan kembali kas negara setelah pandemi berakhir.
Rencana pemerintah mengubah tarif PPN menuai protes dari Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN). Lembaga ini meminta pemerintah menunda rencana kenaikan tarif PPN karena masyarakat masih kesulitan ekonomi akibat pandemi Covid-19.
Ketua BPKN Rizal Edy Halim mengatakan banyak anggota masyarakat yang terkena pemutusan hubungan kerja, penurunan upah, hingga bangkrut. "Apabila pemerintah meningkatkan tarif PPN akan menyebabkan kenaikan harga barang sehingga daya beli semakin tertekan," kata Rizal dalam diskusi virtual, pertengahan Mei 2021.
Harga barang yang tinggi, menurut dia,, akan menyebabkan kenaikan inflasi semu. "Sama seperti di Arab Saudi ada inflasi bukan karena permintaan yang tinggi dan ini akan menekan pertumbuhan ekonomi," ujar dia.
Ia mengusulkan, pemerintah menunda sementara rencana itu hingga penanganan pandemi terkendali dan kepercayaan masyarakat sudah mulai tumbuh.
Menurut dia, kebijakan menaikkan tarif PPN memang dibutuhkan untuk mencapai penerimaan yang kesinambungan,. Namun, dari sisi psikologis sosial, kebijakan tersebut menunjukkan anggapan pemerintah yang tidak peka dengan kondisi masyarakat. "Sense of crisis-nya tidak ada, kan begitu," ujarya.
Tahun lalu, penerimaan pajak hanya mencapai Rp 1.069,98 triliun sepanjang 2020. Jumlah tersebut setara 89,25% dari target penerimaan pajak yang sebesar Rp 1.198,82 triliun.