BI Pastikan Tak Ada Lagi Burden Sharing Meski Anggaran Corona Bengkak
Bank Indonesia memastikan tidak akan kembali menerapkan skema burden sharing dalam pembiayaan utang dengan pemerintah meski kebutuhan anggaran penanganan Covid-19 melonjak. Dukungan BI diberikan sesuai dengan Surat Keputusan Bersama atau SKB I yang mengatur perannya sebagai pembeli siaga dalam penerbitan surat utang pemerintah.
"Undang-Undang Nomer 2 Tahun 2020 menggariskan bagaimana kebijakan fiskal ditempuh dan bagaimana BI berpartisipasi dalam pendanaan APBN 2021," uja Perry dalam konferensi pers hasil rapat dewan gubernur BI, Kamis, (22/7).
Dalam UU Nomor 2 Tahun 2020 diatur bahwa BI dapat membeli surat utang negara dan/atau surat berharga syariah negara di pasar perdana sebagai sumber pendanaan pemerintah. Sumber pendanaan ini dipergunakan dalam rangka pemulihan ekonomi nasional, termasuk menjaga kesinambungan pengelolaan keuangan negara. Namun, skema dan mekanisme lebih lanjut diatur bersama antara pemerintah dan BI.
Ada dua surat keputusan bersama atau SKB yang diteken pemerintah dan BI terkait pembiayaan utang untuk penanganan pandemi Covid-19 pada tahun lalu. SKB I yang diteken pada 16 April 2020 memperbolehkan BI membeli Surat Berharga Negara (SBN) di pasar perdana sebagai non-competitive bidder. Sedangkan pada SKB II yang diteken 7 Juli 2020, pemerintah dan BI membagi beban pembiayaan berdasarkan kelompok barang publik dan barang nonpublik.
Untuk pembiyaan belanja publik, BI tetap membeli SBN yang diterbitkan pemerintah dengan suku bunga acuan BI reverse repo rate. Pemerintah pun membayar bunga atau imbalan kepada BI sesuai tanggal jatuh tempo, tetapi pada hari yang sama akan dikembalikan BI ke rekening pemerintah. SBN tersebut juga bersifat tradable atau dapat diperdagangkan.
Sementara untuk pembiayaan nonpublik, BI membeli SBN dengan kupon sesuai BI 7 days reverse repo rate. Namun khusus untuk pembelian barang nonpublik untuk UMKM, BI hanya memperoleh kupon BI 7 days reverse repo rate dikurangi diskon 1%.
Pemerintah dan BI sepakat burden sharing melalui SKB II yang diteken pada Juli hanya satu kali berlaku pada tahun lalu. Namun, pemerintah dan BI memperpanjang pemberlakuan SKB I hingga 31 Desember 2021.
Adapun BI telah membeli surat berharga negara (SBN) sesuai SKB I hingga 19 Juli sebesar Rp 124,13 triliun. Pembelian obligasi pemerintah ini terdiri dari lelang utama sebesar Rp 48,67 triliun dan Rp 75,46 triliun melalui mekanisme lelang tambahan.
Perry juga memastikan koordinasi kebijakan fiskal dan moneter masih akan terjaga untuk mendukung penyelenggaraan APBN 2021. Koordinasi antara BI dengan Kementerian Keuangan tidak hanya dilakukan pada level pimpinan tertinggi tetapi juga direktur lembaga.
Pemerintah kembali meningkatkan pembiayaan untuk program PEN 2021 dari semula Rp 699,43 triliun menjadi Rp 744,75 triliun. Sri Mulyani menyebut pemenuhan tambahan anggaran akan berasal dari realokasi anggaran K/L, serta pemanfaatan dana SAL 2020 yang mencapai Rp 186,67 triliun dan SiLPA semester I 2021 Rp 135,9 triliun.
"Kami akan melakukan realokasi beberapa belanja kementerian dan lembaga agar kita bisa memenuhi terutama kebutuhan yang sangat tinggi untuk kesehatan dan bansos yang bertambahan Rp 55,2 triliun." kata Sri Mulyani dalam Konferensi Pers APBN kita edisi Juli 2021, (21/7).
Bendahara negara juga memastikan defisit anggaran tetap akan sesuai target di akhir tahun mencapai 5,7% terhadap PDB hingga akhir tahun. Hingga semester pertama tahun ini, realisasi defisit APBN sudah mencapai 1,72% terhadap PDB.
Pemerintah menargetkan defisit APBN dua tahun mendatang akan berangsur turun di bawah 5%. Target APBN 2022 dipatok 4,51-4,85% terhadap PDB atau sekitar Rp 808,2 triliun hingga 879,9 triliun. Target tahun 2023 diharapkan bisa ditekan lebih dalam lagi hingga di bawah 3%. Target APBN 2023 dipatok 2,7%-2,97% terhadap PDB atau Rp 524 triliun hingga Rp 589,15 triliun.