Modal Asing Kabur Rp 2,32 T dałam Sepekan, Mayoritas dari Bursa Saham
Bank Indonesia mencatat, arus modal asing keluar dari pasar keuangan domestik mencapai Rp 2,32 triliun pada 15-18 November 2021. Mayoritas atau sebesar Rp 2,27 triliun keluar dari pasar saham.
Kepala Departemen Komunikasi BI Erwin Haryono menjelaskan, modal asing juga keluar dari pasar surat berharga negara pada periode yang sama sebesar Rp 500 miliar. "Berdasarkan data setelmen sejak awal tahun ini, terdapat nonresiden jual neto Rp16,82 triliun," kata Erwin dalam siaran pers, Jumat (19/11).
BI juga melaporkan tingkat premi risiko investasi atau credit default swap (CDS) Indonesia tenor lima tahun per 18 November turun ke level 77,59 bps dari 83,07 bps pada 12 November.
Imbal hasil atau yield SBN tenor 10 tahun terpantau stabil di level 6,16% pada 19 November. Sementara itu, yield US treasury tenor 10 tahun naik ke level 1,58% pada 18 November.
Aksi jual di pasar keuangan ikut menyeret pelemahan pada nilai tukar. Nilai tukar rupiah ditutup di level Rp 14.232 per dolar AS di pasar spot sore ini. Kurs garuda melemah tipis 0,1% dari penutupan pekan lalu di posisi Rp 14.219 per dolar AS.
Direktur Utama PT Garuda Berjangka Ibrahim menjelaskan, dolar ditutup menguat terhadap mata uang lainnya pada hari ini seiring fokus pasar pada kecepatan bank sentral negara-negara maju menanggapu kenaikan tingkat inflasi dengan kenaikan suku bunga. Lonjakan inflasi, antara lain terjadi di dua perekonomian terbesar dunia, Cina dan AS.
Lonjakan inflasi di Cina dikhawatirkan menahan laju pertumbuhan ekonomi negeri panda tersebut. Belum lagi Cina tengah dikepung berbagai gejolak, seperti krisis energi beberapa bulan lalu dan tekanan di sektor properti yang belum berakhir.
Inflasi di AS mendorong kembali menguatnya sentimen tapering off bank sentral AS, The Federal Reserve (The Fed) yang sempat mereda awal bupak ini.
Sekalipun jadwal tapering off sudah ditetapkan, inflasi yang memanas mendorong pasar kembali menebak arah kebijakan The Fed selanjutnya, yakni kenaikan bunga acuan. The Fed belum memberi sinyal apapun terkait langkah tersebut. Namun, pasar mengantisipasi kenaikan bunga acuan lebih cepat pada paruh kedua tahun depan.
Menguatnya sentimen tapering off ini terlihat dari yield US treasury yang kembali menunjukkan tren kenaikan sepekan terakhir. Mengutip treasury.gov, yield US Treasury tenor 10 tahun sempat menyentuh 1,63% pada perdagangan awal pekan ini. Tetapi mulai kembali turun dua hari terakhir.
Tekanan inflasi semakin diperkuat data penjualan ritel AS bulan lalu yang menunjukkan penguatan. Departemen Perdagangan AS melaporkan kenaikan pada penjualan ritel Oktober sebesar 1,7% secara bulanan. Kenaikan lebih tinggi dari bulan sebelumnya 0,8%.
Penjualan ritel yang menguat mengirim sinyal daya beli masih cukup kuat sekalipun ada lonjakan harga-harga. Perbaikan ini juga membuka peluang kenaikan inflasi masih akan berlanjut seiring permintaan yang masih tinggi.
"The Fed sekarang mempertimbangkan kenaikan suku bunga sebelumnya karena inflasi terus meningkat dan pemulihan ekonomi dari Covid-19 berlanjut," kata Ibrahim dalam risetnya.
Sementara itu, data perekonomian domestik memberikan sentimen positif dan menahan pelemahan rupiah. Ibrahim mengatakan, pemerintah memperkirakan pertumbuhan ekonomi pada kuartal keempat dapat mencapai 5% sehingga target pertumbuhan ekonomi tahun ini dapat tercapai.
Sejumlah data perekonomian domestik yang dirilis pekan ini juga memberikan sentimen positif terhadap rupia. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan neraca perdagangan Oktober surplus sebesar US$ 5,73 miliar. Ini merupakan rekor tertinggi sepanjang sejarah. Surplus neraca dagang dalam 10 bulan terakhir mencapai US$ 30,81 miliar.
Lonjakan surplus neraca dagang sudah berlangsung beberapa bulan terakhir terjadiseiring lonjakan harga komoditas. Surplus jumbo ini turut mendorong data ekonomi lainnya lebih cerah. Transaksi berjalan pada kuartal ketiga lalu berhasil surplus setelah terus defisit dua kuartal beturut-turut.
Transaksi berjalan pada periode laporan mencatat surplus US$ 4,5 miliar atau setara 1,5% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Defisit pada kuartal kedua sebesar US$ 2,2 miliar atau setara 0,8% terhadap PDB. Defisit pada periode tersebut melebar dari kinerja bulan sebelumnya defisit US$ 1,1 miliar atau 0,4% terhadap PDB.