UMP Naik di Bawah 10%, Bagaimana Efeknya terhadap Inflasi?
Pemerintah memutuskan kenaikan upah minimum provinsi (UMP) tahun depan tidak boleh lebih dari 10%. Kenaikan upah tersebut akan berpengaruh terhadap kenaikan harga barang karena mendorong kenaikan dari sisi biaya produksi dan daya beli pekerja. Namun, dampaknya ke inflasi tak akan signifikan.
Kenaikan upah yang terkendali menjadi salah satu syarat Bank Indonesia agar inflasi turun lebih cepat pada tahun depan menjadi di bawah 4% pada paruh pertama tahun ini.
Bank Indonesia menargetkan inflasi tahun depan akan turun ke 3,6%. Salah satu target bank sentral juga agar inflasi inti bisa turun ke bawah 4% lebih cepat yakni pada paruh pertama. "Upah ini juga jangan terlalu naik berlebihan," ujar Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo dalam rapat kerja dengan komisi XI DPR RI, Senin (21/11).
Selain upah, Perry menyebut, syarat lain agar inflasi terkendali adalah menurunkan inflasi harga pangan di kisaran 5% dan menjaga inflasi komponen harga yang diatur pemerintah, salah satunya tarif angkutan.
Adapun Beberapa provinsi sudah mengumumkan besaran kenaikan UMP mulai kemarin (28/11) setelah Kemenaker menetapkan kenaikan maksimal 10%. UMP DKI Jakarta, misalnya yang naik 5,6%, Banten 6,4%, Jawa Timur 7,86%, Jawa Barat 7,88%, Jawa Tengah 8,01%, Bali 7,81%, dan Maluku Utara 3,99%.
Direktur Eksekutif/Ekonom INDEF Tauhid Ahmad melihat pengaruh kenaikan upah di bawah 10% ke inflasi tidak akan signifikan. Dorongan kenaikan terhadap inflasi, baik yang berasal dari permintaan atau demand pull maupun kenaikan biaya produksi atau cost push tidak akan besar.
Kenaikan upah berarti akan membuat pendapatan pekerja pada tahun depan semakin besar. Upah yang makin besar mengindikasikan daya beli mereka tahun depan juga menguat. Ini kemudian bisa mendorong peningkatan konsumsi yang secara teoritis mendorong konsumsi.
"Masalahnya, kenaikan upah ini di bawah 10%, kenaikan tersebut sebagian besarnya hanya untuk mempertahankan daya beli karena kenaikan inflasi yang mencapai di atas 5%, sisanya hanya sedikit. Kecuali upahnya naik lebih dari 10% baru akan terjadi dampaknya ke inflasi," kata Tauhid sata dihubungi melalui sambungan telepon, Selasa (29/11).
Kenaikan upah juga bisa mendorong inflasi dari kenaikan ongkos produksi atau sering disebut cost push inflation. Kenaikan upah di sektor padat karya bisa mendorong biaya untuk gaji karyawan makin besar, yang artinya biaya produksi makin besar. Ini akan mendorong produsen menaikkan harga barang.
Meski demikian, efek kenaikan upah terhadap cost push inflation dinilai juga tidak akan besar. Alasannya, kenaikan inflasi yang terjadi belakangan bukan berasal dari barang-barang produk industri, melainkan produk pangan di sektor pertanian. Sementara, sektor pertanian yang merupakan sektor informal umumnya tidak mengikuti ketentuan pada perubahan UMP.
"Oleh karena itu, kenaikan UMP memang kelihatannya akan ada pengaruhnya ke inflasi, tapi tidak terlalu besar," kata Tauhid.
Senada, Direktur Eksekutif/Ekonom CORE Indonesia Mohammad Faisal juga melihat dampak kenaikan UMP tidak akan signifikan ke inflasi. Hal ini dengan pertimbangan bahwa tidak semua sektor usaha formal tampaknya akan mengikuti kebijakan pengupahan yang baru itu. Masalah pengawasan terhadap kepatuhan dunia usaha terhadap kebijakan UMP dinilai sudah jadi masalah klasik.
"Dorongan kenaikan UMP tidak akan sebesar faktor-faktor lain, seperti yang disebabkan karena suplai seperti pada tahun ini, tidak akan sebesar saat harga BBM dinaikkan," kata Faisal.