Ekonomi Indonesia Masih Moncer, Benarkah Perppu Ciptaker Mendesak?
Pemerintah beralasan terbitnya Peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 tahun 2022 tentang Cipta Kerja karena kebutuhan mendesak menghadapi tantangan ekonomi 2023 yang berlapis. Meski demikian, prospek ekonomi di dalam negeri sebetulnya masih cukup baik di tengah meningkatnya dampak gejolak ekonomi global.
Perppu tersebut menggantikan UU Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang saat ini statusnya masih inkonstitusional bersyarat. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan UU Cipta Kerja sangat mempengaruhi perilaku dunia usaha, sehingga pelaku usaha juga masih terus menantikan kepastian hukum atas aturan tersebut.
"Indonesia pada 2022 sudah mengatur defisit kurang dari 3%, investasi diminta ditargetkan Rp 1,200 triliun, oleh karena itu menjadi penting kepastian hukum diadakan," kata Airlangga dalam konferensi pers, Jumat (30/12)
Airlangga mengatakan, tantangan ekonomi yang berasal dari lingkungan global juga besar tahun ini. Penerbitan Perppu Cipta Kerja dinilai sebagai kebutuhan mendesak mengantisipasi tantangan resesi, inflasi tinggi, stagflasi, hingga risiko keuangan yang membuat banyak negara berkembang terlilit utang.
Lantas, seberapa besar efek limpahan dari global mengancam ekonomi Indonesia sehingga pemerintah perlu buru-buru mengantisipasi dengan penerbitan Perppu Cipta Kerja?
Efeknya tentu ada, tetapi kemungkinan tidak signifikan. Menteri Keuangan Sri Mulyani juga berulang kali mengatakan, prospek ekonomi domestik masih tetap optimistis sekalipun harus tetap waspada.
Bendahara negara itu dalam sebuah unggahan di akun instagramnya beberapa waktu lalu sempat menuliskan bahwa ekonomi kemungkinan tumbuh 4,7% pada tahun ini, melambat dibandingkan tahun lalu yang diramal 5,2%. Bank Indonesia pun sama, melihat ekonomi masih bisa tumbuh antara 4,5%-5,3%.
Prospek ekonomi yang masih solid juga dikonfirmasi dari sejumlah ramalan lembaga internasional. Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia (ADB) memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia 4,8%, sementara OECD memproyeksikan ekonomi tumbuh 4,7% dan survei Bloomberg 4,9%. Ramalan ini masih jauh lebih baik dibandingkan banyak negara lain, yang diperkirakan jatuh ke jurang resesi.
Selain itu, dampak 'gonjang-ganjing' ekonomi dunia ke dalam negeri kemungkinan tidak separah yang dialami negara lain di Asia Tenggara. Ekonom Senior yang juga Mantan Menteri Keuangan Chatib Basri sebelumnya memperkirakan Indonesia tidak akan resesi tahun ini sekalipun prospek ekonomi dunia suram.
Menurut dia, dampak perlambatan global ke dalam negeri relatif terbatas karena ekspor yang melemah memiliki kontribusi yang kecil dalam perekonomian Indonesia. Di sisi lain, Indonesia masih punya harapan terhadap konsumsi rumah tangga yang menyumbang lebih dari separuh perekonomian.
Kepala Pusat Makro Ekonomi dan Keuangan INDEF M Rizal Taufikurahman mengatakan, perekonomian Indonesia secara historis kuartalan masih ekspansif sepanjang tahun lalu meskipun ancaman resesi sebetulnya sudah muncul sejak pertengahan 2022. Perkiraan pertumbuhan tahun ini masih bisa mencapai 5,1%.
"Jika dilihat struktur ekonomi dari sisi produksi dan konsumsi tahun ini masih optimis. Apalagi Indonesia sangat kuat dengan sumber daya alam nya dan dibutuhkan di pasar global," ujarnya saat dihubungi, Rabu (4/1).
Senada, Ekonom CORE Indonesia Yusuf Rendy Manilet juga optimistis dengan prospek cerah ekonomi Indonesia tahun ini meskipun diperkirakan melambat. Perekonomian masih bisa tumbuh antara 4,5%-5%.
Ada sejumlah alasan Indonesia tidak perlu terlalu khawatir dengan prospek tahun ini. Pandemi yang menjadi ancaman bagi perekonomian selama tiga tahun terakhir mulai turun. Pemerintah bahkan telah mencabut kebijakan PPKM. Rendy menilai, berkurangnya tekanan dari pandmei jadi modal bagi berlanjutnya pemulihan ekonomi tahun ini.
"Faktor geopolitik yang menjadi penyebab ketidakpastian perekonomian 2022, pada tahun ini tensinya mulai mereda, sehingga seharusnya faktor dari geopolitik itu sendiri tidak atau sedikit lebih kecil pengaruhnya jika dibandingkan dengan tahun lalu," kata Rendy.
Oleh karena itu, ia menilai kurang pas jika pemerintah beralasan terbitnya Perppu Cipta Kerja karena tantangan perekonomian. Menurutnya, risiko tahun ini relatif mirip dengan tahun lalu, bahkan beberapa risiko yang masih ada tahun lalu telah membaik pada tahun ini seperti Covid-19.