Beda Pendapat Dokter Soal Remdesivir di Tengah Ketiadaan Obat Corona

Ameidyo Daud Nasution
2 Oktober 2020, 07:30
remdesivir, virus corona, covid-19
ANTARA FOTO/REUTERS/China Daily
Petugas medis dengan baju pelindung menyiapkan obat tradisional China (TCM) untuk pasien dengan virus korona baru dengan peralatan pengeluaran cerdas di sebuah apotek Rumah Sakit Tongji Wuhan, pusat terjadinya wabah penularan virus korona baru, di provinsi Hubei, China, Senin (2/3/2020).

Daftar antivirus yang akan diberikan kepada pasien virus corona akan bertambah lagi. Ini seiring PT Kalbe Farma Tbk yang akan mendistribusikan remdesivir untuk pasien Covid-19 yang menjalani perawatan di rumah sakit.

Antivirus yang dijual dengan nama Covifor tersebut merupakan produksi perusahaan farmasi India yakni Amarox Pharma Global. Untuk tahap pertama, Kalbe akan mendistribusikan remdesivir sebanyak 50 ribu dosis.

Penggunaan remdesivir ini mengundang pendapat berbeda dari kalangan dokter. Beberapa menganggap antivirus ini bisa digunakan secara darurat, apalagi Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) telah menyetujui penggunaannya untuk pasien Covid-19.

Salah satu yang mendukung penggunaan remdesivir adalah konsultan dokter Gugus Tugas Covid-19 yang merupakan dokter spesial paru-paru, Erlina Burhan. Dia mengatakan Remdesivir, yang aslinya merupakan obat Hepatitis C, telah berhasil digunakan untuk pasien virus Ebola. 

Setelah itu antivirus ini diuji untuk pasien Covid-19 dan memberikan hasil positif. "Sebagai salah satu obat yang masuk kepada protokol pengobatan, tentu para dokter sangat menyambut gembira," kata Erlina.

Dia menjelaskan cara kerja obat ini adalah menghambat replikasi virus agar kondisi pasien tak semakin parah. Sedangkan penyembuhannya akan dilakukan oleh sistem imun tubuh pasien yang telah terbentuk. “Di banyak negara sudah diuji dan memberikan hasil yang baik,” kata Erlina

Saat ini RSUP Persahabatan akan mencoba remdesivir kepada 25 pasien Covid-19. Pemberiannya melalui infus dengan dosis 200 miligram pada hari pertama. Sedangkan pada hari-hari berikutnya dilakukan dengan pengurangan dosis 100 miligram. “Diinfuskan dengan NaCL (Sodium Klorida) 0,9%,” kata Erlina.

Erlina mengatakan 25 pasien yang akan diujicobakan ini harus berusia di atas 18 tahun dan penderita gejala berat dengan saturasi oksigen di bawah 94%. Kemudian, kriteria lainnya adalah pasien yang sedang menjalani ventilator mekanik.

“Pasien dan keluarga harus bersedia menadatangani secara sukarela dalam penelitian ini,” kata Erlina.

Sedangkan Anggota Dewan Penasihat Perhimpunan Dokter Paru Indonesia dr Arifin Nawas mengatakan remdesivir bukan obat Covid-19. Namun dia mengatakan antivirus ini akan efektif bagi pasien yang telah masuk intensive care unit (ICU).

“Di pasien bisa sambil menggunakan infus, tak usah di-cocktail (kombinasi dengan obat lain). Bisa single,” kata Arifin kepada Katadata.co.id.

Arifin mengatakan remdesivir merupakan jenis pengobatan yang jamak digunakan kepada pasien corona di banyak negara. Meski demikian ia belum mengetahui persentase keberhasilan obat ini pada penderita Covid-19. “Karena obatnya sendiri tidak ada, makanya pakai seperti oseltamivir. Yang paling lama dipakai itu Isoprinosine,” kata dia.

Sedangkan Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Prof Ari Fahrial Syam tak berani memastikan kemampuan Remdesivir dalam menaklukan Covid-19. Apalagi riset di beberapa institusi seperti organisasi kesehatan dunia (WHO) masih berjalan.

“Kita tunggu saja, ini masih tergantung hasil riset karena masih solidarity trial,” kata Ari ketika dihubungi, Kamis (1/10).

Ari malah heran ketika mengetahui bahwa Remdesivir bisa dijual dengan bebas. Apalagi jenis antivirus ini belum terbukti bisa menjadi senjata mumpuni menghadapi corona. “Ini tanggung jawab pemerintah dalam penanggulangan bencana, mestinya swasta tak boleh mengeluarkan obat ini,” kata ahli penyakit dalam dan biologi molekuler ini.

Polemik penggunaan remdesivir tak hanya terjadi di Indonesia. Beberapa rumah sakit di Amerika Serikat juga membatasi antivirus ini hanya untuk pasien dengan gejala berat.

Ahli penyakit infeksi dari Cleveland Clinic, dr Adarsh Bhimraj tak yakin dengan khasiat remdesivir kepada pasien dengan gejala sedang. Sedangkan dr Rajesh Gandhi, ahli infeksi lain dari Massachussetts General Hospital hanya fokus memberikan antivirus ini kepada pasien bergejala berat yang memerlukan alat bantu napas.

Dia juga mengeluhkan sulitnya kondisi dokter lantaran minimnya pengobatan corona yang efektif. "Tak ada yang mau berada dalam posisi sulit membuat keputusan pengobatan berdasarkan ketersediaan obat," kata Gandhi (12/9) dikutip dari Reuters

Reporter: Ihya Ulum Aldin

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...