Hakim Tolak Praperadilan RJ Lino, Status Tersangka Tetap Sah
Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menolak praperadilan tersangka kasus pengadaan crane Pelindo II yakni Richard Joost Lino, Selasa (25/5). Hakim menyatakan penyidikan hingga penahanan Lino yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sah secara hukum.
Sebelumnya mantan Dirut Pelindo II itu mengajukan praperadilan lantaran menganggap penetapannya sebagai tersangka dan penahanannya tak sah secara hukum. Kuasa hukum Lino mengatakan penyidikan terhadap kliennya telah melebihi jangka waktu dua tahun.
“Menimbang permohonan praperadilan ditolak maka pemohon dibebankan biaya perkara,” kata Hakim Morgan Simanjuntak, di PN Jaksel, Selasa (25/5) dikutip dari Antara.
Hakim Morgan berpendapat dari fakta persidangan, KPK selama telah menjalankan proses perkara seperti penyidikan dan penuntutan serta memeriksa saksi dalam dua tahun belakangan. Komisi antirasuah juga menganalisa tiga alat bukti Quay Container Crane.
Hakim juga meminta KPK agar secepatnya menyidangkan kasus ini. Apalagi KPK menyatakan bahwa Lino diduga melakukan tindak pidana korupsi.
Sedangkan tim pengacara Lino yakni Agus Dwiwarsono mengaku kecewa terhadap putusan hakim. Hal ini lantaran dalam Pasal 5 UU KPK, komisi antirasuah harus berpedoman pada asas kepastian hukum dan menghormati Hak Asasi Manusia (HAM).
Selain itu ia juga menyinggung adanya putusan Mahkamah Kosntitusi Nomor 70 Tahun 2019 bahwa waktu yang cukup bagi KPK menyidik, penuntutan, hingga melimpahkan ke persidangan adalah dua tahun. “Ini hal yang aneh tapi kami hormati sebagai sebuah keputusan,” kata Agus.
KPK telah menahan Lino pada 26 Maret lalu usai ditetapkan sebagai tersangka. Penetapan ini dilakukan setelah lebih dari lima tahun kasus ini bergulir.
Lino jadi tersangka karena diduga memerintahkan pengadaan tiga QCC dengan menunjuk langsung perusahaan HDHM (PT Wuxi Hua Dong Heavy Machinery. Co.Ltd.) dari Tiongkok sebagai penyedia barang.
Menurut KPK, pengadaan tiga unit QCC tersebut tidak disesuaikan dengan persiapan infrastruktur yang memadai (pembangunan powerhouse), sehingga menimbulkan in-efisiensi atau dengan kata lain pengadaan tiga unit QCC tersebut sangat dipaksakan.
Berdasarkan laporan audit investigatif Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) tahun 2010 Nomor: LHAI-244/D6.02/2011, kasus dugaan korupsi yang menjerat RJ Lino ini diduga merugikan negara Rp 50,03 miliar. RJ Lino diduga menyalahgunakan wewenang untuk memperkaya diri sendiri dan orang lain atau korporasi dalam pengadaan tiga unit QCC pada 2010.