Nilai Surplus BPJS Kesehatan Terlalu Besar, Menkes Cari Solusi
Kementerian Kesehatan akan segera menyelesaikan revisi Peraturan Menteri Kesehatan atau Permenkes No. 52-2016 tentang Standar Tarif Pelayanan Kesehatan dalam Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan. Setidaknya ada beberapa komponen yang akan disesuaikan dalam revisi tersebut.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan salah satu pendorong revisi tersebut adalah surplus Badan Penyelenggara Jaminan Sosial atau BPJS Kesehatan hingga Rp 52 triliun. Menurutnya, tingginya surplus BPJS Kesehatan tidak sesuai dengan tujuan asuransi sosial.
"Kasnya BPJS Kesehatan sekarang mungkin Rp 100 triliun. Surplusnya itu harusnya hanya sekitar 10%, sehingga sebaiknya digunakan untuk meningkatkan pelayanan kesehatan masyarakat," kata Budi di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (28/11).
Budi menilai surplus BPJS Kesehatan seharusnya hanya Rp 100 miliar sampai Rp 200 miliar per tahun. Namun demikian, Budi ia akan menjaga BPJS Kesehatan tidak boleh defisit.
Untuk memanfaatkan surplus BPJS Kesehatan, Budi akan menyesuaikan tiga komponen. Pertama, perluasan cakupan pelayanan menjadi promotif-preventif.
Sebagai informasi, BPJS Kesehatan saat ini hanya melayani peserta dalam kegiatan penyembuhan di fasilitas kesehatan. Budi menyampaikan fungsi BPJS Kesehatan akan diperluas menjadi juga melayani kegiatan skrining kesehatan.
Kedua, perubahan struktur penetapan harga di rumah sakit. Budi menjelaskan penyesuaian dalam Permenkes No. 52-2016 membuat harga layanan kesehatan rumah sakit di pusat kota dan daerah yang sulit dijangkau tidak jauh berbeda.
"Kemudian, untuk penyakit-penyakit yang memang banyak di Indonesia, kami minta diperluas coverage-nya dari sisi rumah sakit," kata Budi.
Agar rumah sakit dapat melaksanakan penyesuaian Permenkes No. 52-2016, Budi telah mengajukan kenaikan tarif pembayaran BPJS Kesehatan ke rumah sakit ke Kementerian Keuangan. Penyesuaian tersebut akan membuat rata-rata tarif pembayaran BPJS Kesehatan ke rumah sakit naik sekitar 12%.
Sebagai informasi, tarif yang dimaksud adalah tarif dalam metode pembayaran BPJS Kesehatan kepada rumah sakit melalui sistem paket per episode pelayanan kesehatan atau Indonesian Case Based Group (INA CBGs). Pembayaran tersebut mencakup seluruh biaya perawatan peserta BPJS Kesehatan hingga sembuh.
Sebelumnya, Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti mengatakan percobaan kegiatan promotif-preventif telah dimulai tahun ini. Hingga 31 Oktober 2022, sebanyak 13,38 juta dari total 245 juta peserta BPJS Kesehatan telah melalui skrining kesehatan BPJS Kesehatan.
Skrining tersebut menunjukkan sebanyak 4% dari peserta skrining berisiko memiliki penyakit jantung koroner, 10% memiliki darah tinggi, 15% memiliki penyakit diabetes, dan 30% berpotensi berpenyakit gagal ginjal kronis.
Dengan demikian, kegiatan skrining kesehatan akan membebani arus kas BPJS Kesehatan dalam jangka pendek. Secara tahun berjalan, kegiatan skrining kesehatan yang dilakukan BPJS Kesehatan telah memakan biaya hingga Rp 27 miliar.
Namun Ali optimistis perluasan cakupan BPJS Kesehatan akan meringankan arus kas dalam jangka panjang. Oleh karena itu, Ali telah menyiapkan Rp 8 triliun untuk membiayai kegiatan skrining kesehatan pada 2023.