Pemerintaan masker dan harga jualnya meningkat tajam setelah pandemi corona terus meluas di Indonesia. Mengantisipasi kelangkaan, perusahaan tekstil PT Sri Rezeki Isman, Tbk (SRIL) atau Sritex pun mulai memproduksi masker non-medis Antivirus Sritex dengan kapasitas produksi sekitar 20.000 masker per hari.
Corporate Communications Sritex, Joy Citradewi mengatakan masker tersebut diproduksi guna membantu pemerintah menekan dampak penyebaran virus Covid-19 di Indonesia. Masker non medis anti-microbial dan anti-air buatan Sritex ini disebut menggunakan bahan kain dan dapat dicuci serta dipakai ulang.
(Baca: Sritex Tunggu Hasil Investigasi Penyebab Kebakaran Gudang Kapas)
Joy juga menjelaskan, masker diproduksi di pabrik yang sudah ada. Dengan demikian, perusahaan tidak mengeluarkan investasi baru untuk membuat pabrik ataupun lini produksi.
"Untuk saat ini kapasitas 20.000 per hari. Kami baru mulai finalisasi produk kemarin, jadi saat ini kami tahap awal produksi," katanya kepada katadata.co.id.
Berbeda dengan jenis masker yang dijual dengan harga tinggi di pasaran, Sritex mematok harga jual maskernya sekitar Rp 5.500 per buah, termasuk pajak. Namun, harga ini berlaku untuk jumlah pesanan besar atau minimal 1.000 unit per pemesanan.
Dia mengaku hingga saat ini animo masyarakat cukup besar dengan infomasi pemesanan yang tersebar melalui media sosial maupun grup aplikasi percakapan.
Seiring dengan besarnya permintaan, perusahaan belum berencana mengekspor produknya ke luar negeri. " Kita lihat ke depannya. Kita juga belum ada target, akan coba dipenuhi permintaan dulu pada saat ini," ujarnya.
(Baca: Mau Terbitkan Obligasi, Laba Sritex Semester I 2019 Turun 2,6%)
Seperti diketahui, permintaan masker di pasar sejak hampir sebulan terakhir melonjak drastis. Hal ini lantas menimbulkan kelangkaan serta harganya yang melonjak tajam hingga jutaan rupiah per kotak.
Pemerintah telah mengumumkan sejumlah kebijakan untuk menangkal kelangkan dan upaya penimbunan masker.
Sebelumnya, Menteri Perdagangan (Mendag) Agus Suparmanto mengatakan pemerintah akan mengeluarkan aturan larangan ekspor masker untuk sementara waktu. Agus menjelaskan masa berlaku aturan ini bergantung pada kebutuhan di dalam negeri.
"Aturan itu nanti disesuaikan sampai kebutuhan masker dalam negeri cukup atau ada stok yang berlebih," ujarnya di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta, Jumat (13/3).
Badan Pusat Statistik (BPS) sebelumnya mencatat adanya lonjakan ekspor masker kesehatan sepanjang Februari 2020, seiring merebaknya virus corona Covid-19 di dunia.
Pada Januari 2020 nilai ekspor masker hanya mencapai US$ 2,1 juta. Namun bulan lalu nilai ekspornya melonjak hingga lebih 34 kali menjadi US$ 75,2 juta atau meningkat hingga 3.480%.
"Komoditas ekspor yang meningkat pada golongan barang tekstil jadi lainya salah satunya masker," kata Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS Yunita Rusanti di Jakarta, Senin (16/3).
Adapun ekspor masker periode Februari 2020 juga naik hingga 74.600% atau 75 kali lipat jika dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.