Pengusaha Ingin Proses Sertifikasi Halal Bebas Biaya

Arief Kamaludin|KATADATA
Penulis: Michael Reily
5/12/2017, 18.49 WIB

Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) meminta proses sertifikasi produk halal digratiskan atau bebas biaya. Selama ini para pengusaha membutuhkan biaya yang cukup besar untuk mendapatkan sertifikat halal, yang diperbarui setiap empat tahun.

Ketua Umum Apindo Hariyadi Sukamdani mengatakan kewajiban sertifikat halal dalam Undang-Undang Jaminan Produk Halal memberatkan pihak pengusaha. "Kalau biayanya nol saya dukung seribu persen, itu tidak apa-apa meski wajib," kata Hariyadi di Jakarta, Selasa (5/12).

Ia mengungkapkan biaya yang dikenakan pelaku usaha cukup memberatkan. Alasannya, pengusaha harus mengeluarkan biaya pemeriksaan bahan baku produk dengan biaya minimal Rp 2,5 juta. Jika bahan baku berasal dari luar negeri, auditnya mesti dilakukan sampai ke asal produk.

Dia pun meminta solusi terhadap hal ini, misalnya sertifikasi seumur hidup. Sebab, pemasangan logo halal seharusnya tidak menjadi kewajiban pelaku usaha. "Konsep halal dibalik secara konstektual, sekarang semua mesti halal," ujarnya. (Baca: Uni Eropa Soroti SNI dan Isu Halal Sebelum Kerjasama Dengan Indonesia)

Menurutnya, sertifikasi halal akan mendorong tingginya harga jual produksi barang, iklim usaha yang buruk bagi produk tidak serserifikat, dan munculnya sertifikat palsu. Selain itu, hal ini sudah menjadi hambatan bagi industri asing yang ingin menanamkan modalnya di Indonesia.

Hariyadi mengungkapkan ada beberapa perusahaan farmasi dan kosmetik yang akhirnya mundur dan membatalkan rencana investasinya di Indonesia, karena kewajiban sertifikat halal. "Ada perusahaan farmasi lapor ke saya lewat American Chamber of Commerce, butuh US$ 80 juta untuk sertifikat halal," tuturnya.

Akibatnya, muncul potensi kerugian atas gagalnya investasi yang masuk ke dalam negeri. Meski begitu, Apindo belum akan mengambil tindakan untuk melakukan uji materi terhadap UU Jaminan Produk Halal. Apindo tetap mendorong Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk melakukan revisi UU tersebut.

Terkait dengan sertifikasi halal ini, Pemerintah Indonesia dan Malaysia tengah mendorong penandatanganan nota kesepahaman untuk penyamaan logo halal. Pengakuan sertifikasi halal oleh masing-masing otoritas akan membuat perdagangan makanan, minuman, hingga kosmetik di antara kedua negara akan lebih lancar.

(Baca: Indonesia dan Malaysia Bidik Kesepakatan Penyamaan Logo Halal)

Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita menyatakan kerja sama dalam produk dan logo halal dapat mendorong pengembangan industri di Indonesia. "Kedua kepala negara memberi mandat agar nota kesepahaman dapat segera diselesaikan," ujarnya.

Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Indonesia juga menyatakan akan mempercepat proses Mutual Recognition Agreement (MRA) dengan pihak Malaysia. Dengan begitu, produk dan logo halal kedua negara dapat diterima di masing-masing pasar.

Pemicunya, produk dengan sertifikasi halal Malaysia tetap harus diuji ulang oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebelum diterima di dalam negeri. Begitu juga sebaliknya, produk halal buatan Indonesia tak diakui di Malaysia. Perlunya sertifikasi ulang ini dinilai membuat harga barang lebih mahal saat sampai ke tangan konsumen.

(Baca: Potensi Ekonomi Syariah Dunia US$ 6,38 Triliun pada 2021)