PT. Modern Internasional Tbk berjanji akan memenuhi kewajiban kepada sekitar 1300 karyawan 7-Eleven yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK). Sejak menutup seluruh gerai 7-eleven pada 30 Juni lalu, Modern menyatakan telah menghubungi Dinas Ketenagakerjaan untuk berkonsultasi mengenai pemenuhan hak dan kewajiban karyawan.
Perseroan mengatakan akan mengikuti aturan yang berlaku dalam Undang Undang Ketenagakerjaan. "Hak dan kewajiban karyawan kami penuhi sesuai peraturan yang ada," kata Direktur Operasional 7-Eleven Ivan Budiman di kantor Modern Indonesia, Jakarta, Jumat (14/7).
Direktur Keuangan Modern International Donny Sutanto menyatakan telah bertemu dengan Dinas Ketenagakerjaan untuk membicarakan kewajiban yang harus diselesaikan perusahaan. "Pesangon akan kami berikan tetapi kami belum bisa menentukan jumlahnya karena masih dihitung," ungkap Donny.
Hingga kini, kata Donny, buruh yang pernah bekerja di 7-Eleven masih berstatus karyawan. Donny menyatakan penghitungan besaran pesangon tergantung dari kinerja karyawan serta masa pengabdiannya. (Baca juga: Nasib Merana Pegawai Hingga Tukang Parkir 7-Eleven Jelang Kebangkrutan)
Selain bertemu Dinas Ketenagakerjaan dari pihak pemerintah, Donny juga menyatakan sedang menunggu kehadiran Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita yang berjanji akan datang menemui pihak Modern. Saat ini kedua belah pihak belum menemukan jadwal yang tepat.
Donny mengatakan peraturan pemerintah tentang toko ritel modern dan pelarangan minuman beralkohol memang menjadi salah satu sebab menurunnya penjualan 7-Eleven. Namun, Donny menyatakan penyebab utama bangkrutnya 7-Eleven karena kesalahan strategi bisnis yang diterapkan Modern Indonesia. "Kami tidak menyalahkan pemerintah," jelas dia.
(Baca: Grup Modern Garap Bisnis Kesehatan Setelah Menutup 7-Eleven)
Sebelum memutuskan menutup seluruh gerai 7-eleven, manajemen Modern sejak 2015 menjalankan strategi restrukturisasi dan konsolidasi perusahaan, termasuk mencari investor baru untuk mengembangkan bisnis 7-Eleven. Salah satu transaksi yang diupayakan berupa pengalihan aset kepada PT Charoen Pokphand Restu Indonesia, namun gagal karena tak tercapainya kesepakatan.
Kondisi ini ditunjang pula oleh kurangnya dukungan dan kerjasama dari Master Franchisor Seven Eleven Inc. (SEI) yang menetapkan syarat yang memberatkan. Salah satunya adalah dengan hanya memberikan waktu masa berlaku franchise selama 1 tahun bagi investor untuk menyelesaikan segala masalah yang ada. Syarat ini membuat mundur para investor potensial.
Selain itu, Grup Modern juga mengakui terjadi inefisiensi dalam melakukan bisnis 7-Eleven ini. Ekspansi gerai 7-Eleven dinilai dilakukan terlalu cepat di awal, padahal sebagian besar kebutuhan ekspansi tersebut dibiayai oleh pinjaman. Akibatnya kewajiban pembayaran bunga dan pokok pinjaman mengganggu modal kerja yang dapat digunakan untuk operasi bisnis 7-Eleven.
Kondisi ini diperparah dengan daya beli masyarakat yang melemah sejak tahun 2015 dan terus berkelanjutan di tahun 2016 dan awal 2017. Gerak 7-eleven makin sempit ketika pemerintah melarang penjualan minuman beralkohol di gerai-gerai minimarket sejak April 2015. Aturan ini berdampak pada penjualan snack sehingga penurunan penjualan sangat besar.
Ditambah persaingan bisnis retail khususnya di segmen convenience store semakin lama semakin tinggi dan ketat dengan banyaknya pemain baru. (Baca juga: Berjaya 6 Tahun, Kinerja Perusahaan 7-Eleven Meredup Sejak 2015)