Sumatera Barat merupakan daerah yang memiliki ragam kesenian rakyat. Salah satunya adalah tari randai, yang menggabungkan seni lagu, tari, drama, musik, dan silat menjadi satu.
Kesenian khas Mingkabau ini, dapat disebut juga sebagai teater tradisional khas masyarakat Minang. Kesenian tari randai memiliki fungsi yang sama dengan tari pasambahan, yakni untuk menyambut tamu terhormat yang datang, pegantin, pesta rakyat, dan masih banyak lagi.
Kata ‘randai’ berasal dari kata ‘handai’ yang digubah menjadi ‘barandai’ yang memiliki arti obrolan hangat di dalam suasana yang santai. Ada pula pendapat yang mengatakan Randai berasal dari bahasa Arab, yakni Rayan-Li-dai yang berarti lekat dengan da’i atau pendakwah.
Kesenian tari randai memiliki beberapa unsur pokok di dalamnya, yakni cerita yang dibawakan, dialog, seni peran, galombangan, dan gurindam.
Asal Muasal Kesenian Tari Randai
Awalnya, kesenian tari randai dipentaskan untuk menyampaikan nasihat-nasihat yang ada dalam cerita rakyat, Nasihan-nasihat dalam cerita rakyat yang dipentaskan ini, dalam betuk gurindam atau syair yang didendangkan bersama tarian randai.
Cerita rakyat yang kerap dipentaskan bersama tari randai antara lain, Malin Kundang, Malin Deman, Anggun Nan Tongga, dan masih banyak lagi.
Menurut Zulkifli (1993) dalam jurnal berjudul "Randai Sebagai Teater Rakyat Mingkabau", kesenian tari randai berasal dari perguruan silat di Sumatera Barat. Para pemuda menarikan Randai untuk mengasah kemampuan silat yang mereka miliki. Namun ada juga pendapat lain mengenai asal-usul tari randai ini.
Sejarah tari randai dimulai ketika tarian ini dimainkan oleh masyarakat Periangan, Tanah Datar. Tarian ini didendangkan saat mereka berhasil menangkap seekor rusa. Tari randai dipentaskan dengan cara melingkar. Di dalam lingkaran ada seserorang yang berperan sebagai paktua atau pelatih silat.
Paktua ini lah yang akan menyampaikan pesan melalui syair atau gurindam dalam bahasa Minang. Dahulu pemeran Tari Randai haruslah laki-laki, bahkan apabila dalam cerota yang dimainkan ada sosok perempuan. Peran perempuan tersebut juga dibawakan oleh seorang laki-laki.
Tokoh perempuan umumnya hanya menjadi primadona dalam pertunjukan Randai. Pada perkembangannya, tari randai kemudian dapat di mainkan dan dipentaskan oleh semua kalangan. Tari randai dimainkan secara berkelompok, satu kelompok terdiri dari 14 hingga 25 orang.
Para pemain tari randai disebut sebagai anak randai. Anak randai biasanya berasal dari kalangan pedagang, pengrajin, dan petani dari daerah Mingkabau. Para pemain akan melangkah secara perlahan sembari menyampaikan cerita dalam bentuk nyanyian secara bergantian.
Pertunjukan kesenian tari randai dipimpin oleh seorang panggoreh. Selain ikut ambil bagian dalam cerita yang dibawakan, penggoreh juga memiliki tugas untuk memberikan teriakan khas sebagai aba-aba. Teriakan yang dikeluarkan penggoreh menentukan cepat atau lambatnya tempo gerakan. Tujuannya agar tarian yang dibawakan serempak dan indah di mata penonton.
Seluk Beluk Kesenian Tari Randai
Dalam satu kali pementasan, kesenian tari randai dapat menghabiskan waktu selama satu hingga lima jam lamanya. Tari randai digelar di alam terbuka atau tanah lapang. Tari randai juga tidak menggunakan panggung, sehingga tidak ada batas anatara para penari randai dan penonton.
Hal ini mempresentasikan masyarakat Minang yang tidak membeda-bedakan masyarakat berdasarkan golongannya. Kesenian tari randai menggunakan kostum atau busana yang berbeda-beda. Kontum yang digunakan para anak randai adalah pakaian gentian cino, celana galembong, dan busana anak daro.
Baju guntiang cino merupakan kostum yang serupa dengan baju koko seperti pada umumnya. Namun bedanya baju guntiang cino tidak memiliki saku dan kerah, serta berlengan panjang serta longgar. Celana galembong disebut juga galambuak, bentuknya longgar dan besar, sehingga mempermudah gerakan-gerakan yang dinamis.
Sedangkan baju anak daro merupakan merupakan busana khas Minangkabau yang dikenakan perempuan. Busana ini juga sering dipakai sebagai busana pengantin, dan terdapat di beberapa tarian adat seperti Tari Pasambahan. Motifnya banyak dihiasi aksesoris, berpotongan besar dan tidak ‘nempel’ ke tubuh serta menjuntai panjang mencapai lutut.
Selain aneka kontum, tari randai juga menggunakan berbagai macam perlengkapan, antara lain cawet songket, deta, dandang, kain kodek, dan suntiang. Cawek merupakan kain yang diikatkan atau dililitkan diluar celana untuk para anak randai laki-laki. Deta adalah penutup kepala yang dilipat sedemikian rupa, sehingga membentuk segitiga.
Kemudian, sandang adalah kain panjang atau selendang yang diikatkan dipinggang anak randai, yang biasanya berwarna merah. Kain kodek merupakan kain songket khas Mingkabau yang digunakan sebagai sarung. Lalu suntiang yang digunakan anak perempuan bak memakai mahkota berwarna emas atau perak.
Untuk menghidupkan sebuah pementasan kesenian tari randai, tentu tidak lepas dari peran pemusik dengan instrumen yang dimainkan. Dalam kesenian tari randai, alat musik yang digunakan adalah Talempong, saluang, rabab, bansi hingga canai. Semuanya merupakan alat musik khas Sumatera Barat.
Instrumen musik juga berfungsi sebagai pemberi ritme dan tuntunan gerak, menambahkan efek dramatis dan backsound. Selain itu, ada pula suara atau bunyi yang datang dari para penari itu sendiri, seperti tepukan celana galembong, petik jari, hentak kaki, siulan, dan juga suara vocal dari goreh.