Pemerintah Diminta Perpanjang Kontrak 8 Perusahaan Batu Bara Besar

Ajeng Dinar Ulfiana | KATADATA
Aktivitas di tambang Batu bara legal di Desa Jahab, Kecamatan Tenggarong, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur (17/1/2019).
26/6/2019, 16.49 WIB

Menyusul Tanito Harum, sebanyak tujuh perusahaan tambang batu bara besar akan habis masa kontrak. Hingga kini, belum ada kepastian mengenai perpanjangan kontrak atas perusahaan-perusahaan tersebut. Penyebabnya, peraturan yang belum rampung seiring masih adanya perdebatan di internal pemerintah.

Peraturan yang dimaksud yakni revisi peraturan pemerintah tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara (RPP Minerba). Awalnya, revisi tersebut ditujukan agar perusahaan bisa mengurus lebih awal perpanjangan kontrak pengelolaan wilayah tambang.

Namun, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno meminta adanya beberapa penegasan dalam RPP tersebut. Penegasan yang dimaksud di antaranya soal prioritas pengelolaan wilayah tambang habis kontrak oleh BUMN. Seiring perkembangan ini, RPP pun tak kunjung disahkan Presiden.

Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia menyarankan agar pemerintah memprioritaskan kedelapan perusahaan swasta untuk melanjutkan pengelolaan wilayah tambang. "Masukan untuk revisi PP, kami ingin diproritaskan. Karena kan sudah investasi," kata dia kepada katadata.co.id, Rabu (26/6).

(Baca: Nasib 8 Perusahaan Besar Tambang Batu Bara Tersandera Revisi PP dan UU)

Ia pun menyatakan, belum adanya kepastian hukum mengenai perpanjangan kontrak berdampak negatif terhadap iklim investasi di Tanah Air. Adapun dalam berbagai kesempatan, manajemen perusahaan tambang batu bara besar menegaskan, perpanjangan kontrak sudah ada dalam perjanjian dengan pemerintah.

Namun, Pakar Hukum Pertambangan Ahmad Redi mengatakan berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Minerba, Wilayah Izin Usaha Pertambangan yang habis kontrak harus menjadi Wilayah Pencandangan Negara (WPN) terlebih dahulu. Wilayah tersebut baru bisa dilelang bila mendapatkan persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dan BUMN mendapatkan prioritas untuk mengelola wilayah tambang yang telah habis masa kontraknya tersebut. Bila BUMD atau BUMD tidak ingin mengelolanya maka baru bisa diberikan kepada swasta. "Sumber Daya Alam harus dikelola BUMN itu amanat konstitusi," ujarnya.

Terdapat delapan perusahaan pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B) Generasi I yang sudah dan akan habis kontrak, yaitu Tanito Harum (14 Januari 2019), PT Arutmin Indonesia (1 November 2020), PT Kendilo Coal (13 September 2021), PT Kaltim Prima Coal (31 Desember 2021), PT Multi Harapan Utama (1 April 2022), PT Adaro Indonesia (1 Oktober 2022), PT Kideco Jaya Agung (13 Maret 2023), dan PT Berau Coal (26 April 2025).

Selain soal prioritas pengelolaan wilayah tambang oleh BUMN, Menteri Rini meminta adanya penegasan dalam RPP Minerba soal pembatasan wilayah tambang maksimal 15 ribu hektar. Menurut dia, ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Minerba. Perdebatan soal kesesuaian dengan UU Minerba tampaknya jadi alasan utama RPP tak kunjung diteken Presiden.

Dalam rapat dengan Komisi VII DPR, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan menjelaskan sementara draf RPP belum diteken Presiden, pihaknya menerima tembusan surat dari Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kepada Presiden. Isinya, RPP Minerba wajib mengacu pada UU Minerba. Namun, UU ini juga masih dalam proses revisi di DPR.

Ia menyatakan telah menerima surat permintaan dari Ketua DPR agar ada pembahasan segera amandemen UU Minerba. Namun, Komisi VII DPR menyatakan amandemen tidak bisa dilakukan bila pemerintah belum memasukkan Daftar Inventaris Masalah (DIM) untuk revisi UU Minerba. Jonan pun menyatakan akan segera meminta izin ke Presiden untuk segera memasukkan DIM.