Harga minyak internasional mencapai level tertinggi sejak 20 November 2018. Dalam delapan hari berturut-turut, harga minyak mengakumulasi kenaikan 8,43%. Naiknya harga minyak dipengaruhi pengurangan produksi oleh sejumlah negara produsen serta sanksi AS terhadap Iran dan Venezuela.
Harga minyak west texas intermediate (WTI) untuk pengiriman April 2019 di New York Mercantile Exchange berada di US$ 57,23 /barel, naik 0,12% dari hari sebelumnya. Sementara harga minyak brent untuk pengiriman April 2019 di ICE Futures kemarin menguat ke US$ 67,08 /barel, naik 0,95% ketimbang hari sebelumnya.
"Pasar minggu ini telah didorong ke level tertinggi tiga bulan di tengah ekspektasi pasokan yang ketat," kata Gene McGillian, VP Riset Pasar di Tradition Energy, seperti dikutip Reuters, Rabu (20/2).
Kenaikan harga didorong harapan bahwa pasar minyak akan seimbang tahun ini. Sanksi Amerika Serikat (AS) terhadap anggota organisasi negara pengekspor minyak (OPEC), seperti Iran dan Venezuela ikut berpengaruh. Selain itu, Anggota OPEC dan produsen minyak lainnya, termasuk Rusia, sepakat untuk mengurangi pasokan minyak sebesar 1,2 juta barel per hari mulai 1 Januari tahun ini.
(Baca: Harga Minyak Membaik, Pendapatan Elnusa Naik 34,6% Tahun Lalu)
Presiden Nigeria Muhammadu Buhari mengatakan akan ikut memangkas produksi minyak. Nigeria merupakan salah satu anggota Organization of the Petroleum Exporting Countries (OPEC). "Nigeria akan mendukung inisiatif Arab Saudi untuk membatasi produksi sehingga harga naik," ungkap juru bicara presiden dalam pernyataan yang dikutip Reuters. Januari lalu, produksi minyak Nigeria berada di 1,78 juta barel per hari.
Tak hanya pemangkasan produksi, kemajuan negosiasi dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China menjadi penyulut kenaikan harga minyak. Presiden AS Donald Trump mengatakan negosiasi dengan China berjalan baik akan memperpanjang tenggat waktu penyelesaian melampaui 1 Maret.
Sebelumnya, kekhawatiran pasar atas pembicaraan perdagangan antara Amerika Serikat dan China telah membantu menekan harga minyak lebih rendah pada awal perdagangan. Akan tetapi, pasar berbalik setelah tanda-tanda kemajuan muncul pada Rabu kemarin dan memperkuat pasar ekuitas.
Kondisi ini diprediksi akan kembali berbalik dalam beberapa bulan ke depan hingga akhir tahun. Menteri Energi Saudi Khalid al-Falih berharap pasar minyak akan seimbang pada April dan tidak akan ada kesenjangan pasokan karena sanksi-sanksi AS terhadap Iran dan Venezuela.
Pekan lalu, perusahaan minyak negara Saudi, Aramco, menutup sebagian ladang minyak lepas pantai Safaniyah setelah kabel listrik terputus secara tidak sengaja. Produksi di ladang El Sharara yang diperebutkan Libya telah dihentikan sejak Desember.
Kenaikan harga minyak dibatasi, karena gangguan pasokan itu diimbangi oleh ekspektasi peningkatan persediaan di AS, setelah terjadi penurunan tajam dalam pemanfaatan kapasitas kilang di Midwest. Persediaan minyak mentah AS diperkirakan telah meningkat sebesar 3,1 juta barel pekan lalu.
Persediaan di Cushing, Oklahoma, pusat penyimpanan minyak utama AS, akan meningkat sebagian besar karena data AS menunjukkan pemanfaatan kapasitas kilang di Midwest turun menjadi 84,2% dari 92,9% pekan sebelumnya. Ini menyusul serangkaian penghentian operasi kilang.
BNP Paribas mengatakan melonjaknya produksi AS akan mendorong harga minyak lebih rendah menjelang akhir tahun, dengan Brent turun ke rata-rata US$ 67 /barel pada kuartal keempat dan WTI ke rata-rata US$ 61 /barel. Pertumbuhan produksi minyak AS, akan semakin meningkatkan ekspor dalam volume yang lebih besar ke pasar internasional. Sementara ekonomi global diperkirakan akan menyaksikan sinkronisasi perlambatan dalam pertumbuhan.