Lima Agenda Penting Sektor Energi yang Jadi PR Presiden Terpilih

Arief Kamaludin|KATADATA
13/2/2019, 15.55 WIB

Keempat, capres tidak hanya memikirkan energi yang berkelanjutan tetapi juga harga energi yang murah, dan distribusi yang merata. Kelima, membuat kebijakan yang progresif untuk bisa meningkatkan investasi di sektor energi. Pada tahun lalu target investasi di sektor energi yang dipatok US$ 37,2 miliar hanya tercapai US$ 32,2 miliar. Investasi energi terus mengalami penurunan.

Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), penurunan investasi telah terjadi sejak lima tahun lalu. Tahun 2014, investasi sektor energi mencapai US$ 33,5 miliar, lalu 2015 hanya US$ 32,3 miliar, setahun berikutnya US$ 29,7 miliar dan tahun 2017 Cuma US$ 27,5 miliar.

Dalam kurun waktu itu penurunan paling konsisten terjadi di sektor minyak dan gas bumi (migas). Tahun 2014, investasinya bisa mencapai US$ 21,7 miliar, tahun 2015 sebesar US$ 17,9 miliar, tahun 2016 sebesar US$ 12,7 miliar dan 2017 mencapai US$ 11 miliar.

Menurut Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Hindun Mulaika, sektor energi menjadi hal yang vital yang bisa memengaruhi perekonomian negara. Sektor ini sangat berdampak pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), devisa negara, neraca perdagangan. "Makanya benar-benar butuh arahan," kata dia.

Badan Pusat Statistik (BPS) merilis neraca perdagangan tahun 2018. Nilai impor sepanjang tahun lalu sebesar US$ 188 miliar atau melonjak 20,15% dibandingkan tahun sebelumnya. Di sisi lain, ekspor hanya mampu US$ 162 miliar atau hanya tumbuh 6,65%. Salah satu penyebab besarnya defisit tahun lalu adalah neraca dagang minyak dan gas (migas).

Kebutuhan minyak yang besar memaksa Indonesia harus membayar impor hingga US$ 29,8 miliar. Sedangkan sebagai negara penghasil ekspor hanya mampu membukukan US$ 17,4 miliar. Alhasil, perdagangan migas mencatatkan defisit US$ 12,4 miliar atau melonjak 45% dibandingkan tahun sebelumnya.

Halaman: