Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyatakan kesulitannya mencari potensi cadangan minyak dan gas bumi (migas) baru di Indonesia. Salah satu kendalanya adalah pendanaan.

Kepala Badan Geologi Kementerian ESDM Rudy Suhendar mengatakan setiap tahunnya kegiatan mencari cadangan migas bergantung Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Akan tetapi, jumlahnya terbatas.

Dengan keterbatasan dana, Badan Geologi tidak bisa melakukan survei seismik secara signifikan. Alhasil, sejak tahun 2015-2018, Badan Geologi hanya melakukan survei dua dimensi (2D) di delapan lokasi.

Survei seismik 2D adalah kegiatan pencarian potensi migas di daratan dengan menggunakan teknologi awal, yaitu dua dimensi. Prinsip kerja teknologi seismik dua dimensi yakni dengan mencatat pantulan getaran dari dalam tanah pada kedalaman tertentu.

Tahun ini, Badan Geologi berhasil melakukan survei seismik di dua lokasi yakni di Selabangka, Sulawesi Tenggara dan Singkawang, Kalimantan Barat. Biaya survei masing-masing lokasi itu berkisar Rp 40-50 miliar. Sementara anggaran untuk kegiatan seismik yang dimiliki badan Geologi tahun ini hanya RP 96 miliar.

Sedikitnya kegiatan seismik ini membuat perolehan data Badan Geologi tak signifikan. Ujungnya, jumlah wilayah kerja yang siap dilelang pun mengalami stagnasi.

Sejak 2015-2018, setiap tahunnya, Badan Geologi hanya mampu merekomendasikan sembilan wilayah kerja baru kepada Direktorat Jenderal Migas. “Seismik ini tidak murah, sedangkan kami terkendala dengan anggaran yang terbatas dengan APBN," kata dia dalam Kolokium Pusat Survei Geologi 2018, di Jakarta, Selasa (27/11).

Bahkan, tahun depan Badan Geologi tak lagi menganggarkan dana untuk kegiatan seismik. Ini dalam rangka efisiensi anggaran di Kementerian ESDM.

Alhasil, untuk kegiatan seismik tahun depan, Badan Geologi akan bekerjasama dengan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) untuk melakukan kegiatan seismik. Salah satunya dengan memanfaatkan dana dari Komitmen Kerja Pasti (KKP).

KKP merupakan dana yang disetor kontraktor yang ingin mengelola blok migas yang akan berakhir kontraknya.  Jadi, dana KKP tersebut sebagai kewajiban yang harus dipenuhi kontraktor selama lima tahun pertama untuk kegiatan eksplorasi yang terdiri dari kegiatan seismik hingga pengeboran.

Per 31 Oktober lalu, telah terkumpul US$ 1,3 miliar dana KKP untuk delapan tahun ke depan. Targetnya hingga akhir tahun ini adalah US$ 2 miliar. Sehingga, survei seismik akan semakin masif dan meningkat menjadi tiga dimensi (3D). “Targetnya adalah giant field. kami maunya penemuan baru," ujar Rudy.

Namun, penggunaan dana KKKS untuk kegiatan seismik bersama Badan Geologi itu mendapat sorotan dari investor. Vice President Exploration PT Saka Energi Indonesia Rovicky Putrohari khawatir dengan dibiayai oleh investor, kegiatan seismik yang dilakukan Badan Geologi tidak lagi independen. "Semestinya ini dibiayai negara" kata dia.

Sebagai informasi, dari total 128 cekungan yang dipublikasikan Badan Geologi tahun 2009, hanya 18 yang sudah berproduksi. Sementara, 12 lainnya sudah dilakukan pengeboran dengan penemuan. Lalu, 24 cekungan sudah dibor namun tanpa penemuan.

Adapun, penemuan cadangan migas baru diperlukan untuk mendukung produksi migas nasional. Apalagi saat ini produksi migas terus menurun.

(Baca: Cadangan Migas Meningkat 2% Sebulan Terakhir)

Sebagai gambaran, tahun 1974, Indonesia bisa memproduksi minyak hingga 1,7 juta barel per hari (bph). Namun data SKK Migas per 30 September 2018, produksi migas hanya sekitar 774 ribu bph. Sementara itu, kebutuhan minyak dalam negeri bisa mencapai 1,6 juta bph. Artinya, saat kekurangan pasokan minyak ini dipenuhi melalui impor.

Reporter: Anggita Rezki Amelia