Lembaga pemeringkat utang Fitch Rating memprediksi keuangan PT Pertamina (Persero) akan makin tertekan tahun ini. Penyebabnya, adalah kebijakan pemerintah menahan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Solar dan Premium.
Dalam keterangan resmi yang dipublikasikan Selasa (16/10), Fitch memprediksi EBITDA (Earning Before Interest, Taxes, Depreciation, and Amortization) atau pendapatan sebelum bunga, pajak, depresiasi dan amortisas Pertamina sepanjang tahun 2018 akan turun di bawah US$ 6 miliar. Padahal, tahun 2017 bisa mencapai US$ 6,9 miliar.
Kebijakan menunda kenaikan harga BBM jenis Premium dan Solar ini menurut Fitch akan menekan profitabilitas Pertamina dalam 12 bulan mendatang. Bahkan, tambahan subsidi dan penerimaan dari sektor hulu yang naik karena meningkatnya harga minyak dunia juga tidak berpengaruh signifikan.
Pemerintah memang meningkatkan subsidi Solar menjadi Rp 2.000 per liter dari Rp500 per liter. Perubahan ini berlaku sejak awal 2018. Namun, harga Solar dan Premium yang dijual Pertamina ditambah subisidi itu masih di bawah harga pasar sekitar 60% -75%.
Bahkan, pemerintah masih harus membayar dana talangan Pertamina. Tahun 2017, dana yang harus dibayarkan pemerintah sekitar US$ 2 miliar. Semester I tahun 2018 sekitar US$ 1,2 miliar. “Angka itu akan naik lagi di semester II tahun 2018 mengingat harga minyak dunia meningkat,” dikutip dari keterangan resmi Fitch, Selasa (16/10).
Seperti diketahui, pemerintah membatalkan rencana kenaikan harga Premium dan Solar dalam hitungan jam setelah diumumkan pada 10 Oktober 2018 lalu. Menurut Fitch itu menandakan harga BBM sangat sensitif secara politik di Indonesia.
Atas dasar itu, Fitch menilai, kenaikan harga BBM yang diatur pemerintah, seperti Solar dan Premium akan sangat sulit secara politis sampai pemilihan umum April 2019. Padahal, sejak 2015, pemerintah mengeluarkan aturan yang menghapus subsidi untuk Premium. Subsidi hanya diberikan untuk Solar.
Akan tetapi, sejak 2016, harga kedua komoditas tersebut tak berubah, meskipun kurs melemah dan harga minyak mentah naik. Alhasil, Pertamina yang memberikan subsidi implisit kepada konsumen.
Itu akan berdampak juga pada peringkat utang Pertamina. Peringkat utang Pertamina dari 'BBB-' dapat melemah jika tidak ada peningkatan profitabilitas hilir, apalagi ada program ekspansi besar. Arus kas operasional yang lemah cenderung menghasilkan pendanaan utang yang lebih tinggi dari investasinya, itu mengecilkan metrik kredit.
(Baca: Peringkat Utang Pertamina Terancam Turun karena Harga Premium Tak Naik)
Seperti diketahui, level BBB- adalah yang terendah dalam status layak investasi. Jika, rating itu diturunkan, Pertamina bisa menjadi tidak layak investasi.