Produksi Batu Bara Delapan Bulan Terakhir Capai 64% Target

Donang Wahyu|KATADATA
4/10/2018, 15.27 WIB

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat realisasi produksi batu bara selama delapan bulan terakhir sebesar 64% target. Dari total produksi itu batu bara paling banyak digunakan untuk ekspor.

Hingga Agustus 2018, produksi batu bara mencapai 311 juta ton. Targetnya adalah 485 juta ton. Dari realisasi produksi itu 102 juta ton dijual ke dalam negeri atau di bawah target 121 juta ton. Sisanya, sebesar 200 juta ton diekspor. Target ekspor tahun ini mencapai 364 juta ton.

Selain itu, pemerintah sebenarnya membuka peluang tambahan hingga 100 juta dan tidak ada kewajiban dipasok ke dalam negeri. Namun, yang diajukan pelaku industri dan disetujui pemerintah hanya 21,9 juta ton hingga akhir tahun.

Direktur Pembinaan dan Pengusahaan Batu Bara Sri Raharjo optimistis target produksi batu bara tahun ini bisa tercapai. Apalagi, ada potensi kenaikan produksi dari beberapa perusahaan. “Beberapa perusahaan sudah feasibility study dan selesaikan Analisis mengenai Dampak Lingkungan (Amdal), produksi naik," kata dia di Jakarta, Kamis (4/10).

Namun, menurut Sri terkait penjualan batu bara di dalam negeri diperkirakan tidak mencapai target. Ini karena penyerapan dari PLN yang belum maksimal. Salah satunya karena ada sejumlah pembangkit batu bara PLN yang mundur dari jadwal operasi.

Meskipun produksi akan digenjot agar bisa mencapai target, Kementerian ESDM tetap mengontrolnya. Tujuannya agar produksi batu bara tetap bertahan lama dan bisa dimanfaatkan untuk domestik.

Jika batu bara terus diproduksi, akan membuat cadangan batu bara habis. Saat ini tercatat cadangan batu bara sudah 37 miliar ton. Menurut Sri jika cadangan itu terus diproduksikan akan habis pada 2086.

Dalam upaya pengendalian produksi itu Kementerian ESDM, berkoordinasi dengan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Meski belum final, target produksi batu bara untuk tahun depan dipatok 400 juta ton.

Upaya pengendalian produksi batu bara itu yang pertama adalah pengetatan persetujuan Rencana Kerja Anggaran Perusahaan (RAKP) perusahaan tambang. RKAP produksi perusahaan tambang disetujui jika sudah memenuhi syarat, misalnya sudah membayar biaya reklamasi. "Kalau dia punya utang atau PNBP (belum dibayar), RKAP nya tidak kami setujui,"kata Sri.

Kedua, pembatasan jam kerja operasi tambang. Dengan pembatasan jam akan mempengaruhi kinerja produksi tambang sehigga produksi bisa dikendalikan.

(Baca: Cadangan Batu Bara di Indonesia Meningkat 48%)

Direktur ESDM dan Pertambangan Nasional Bappenas Josaphat Rizal Primana mengatakan pihaknya saat ini tengah menyusun Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Salah satu yang diatur dalam RPJMN tersebut yakni tentang perencanaan pengendalian produksi batu bara dalam lima tahun ke depan.

"Penggunaan batubara pasti kami kurangi, Kalau di rencana umum energi nasional produksi batubara 400 juta ton. Secara perencanaan harus turun,"kata dia.

Untuk itu ia berharap ke depan batu bara tidak lagi dijadikan komoditas, namun juga sebagai penggerak ekonomi. Jadi butuh peran Kementerian Perindustrian juga. Salah satunya dengan mengembangkan Gas Batubara Metana (Coal Bed Methane/CBM) sebagai energi alternatif pengganti elpiji.