Target Investasi Hulu Migas Tahun Ini Terancam Gagal Tercapai

Arief Kamaludin|KATADATA
ilustrasi.
29/8/2018, 19.59 WIB

Target investasi hulu minyak dan gas bumi (migas) tahun ini terancam tak tercapai. Apalagi hingga Juli 2018, realisasi investasi hulu migas masih di bawah target.

Sejak awal Januari hingga akhir Juli 2018, realisasi investasi hulu migas hanya US$ 6,2 miliar. Padahal target dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018 dipatok US$ 14,2 miliar.

Sampai akhir tahun, target tersebut pun diperkirakan tak akan tercapai. “Sampai akhir tahun investasi migas sedikit menurun menjadi US$ 11,7 miliar," kata Wakil Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas, Sukandar dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi VII DPR di Jakarta, Senin (27/8/).

Investasi hulu minyak dan gas bumi terus turun sejak 2014. Saat itu investasi hulu migas masih bisa US$ 21,7 miliar. Setahun berikutnya turun menjadi US$ 17,9 miliar. Kemudian tahun 2016 di kisaran US$ 12,7. Adapun tahun 2017 mencapai titik terendah yakni US$ 11 miliar.

Menurut Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan ada beberapa penyebab investasi migas menurun dalam beberapa tahun terakhir. Salah satunya adalah, faktor harga minyak yang sebelumnya sempat rendah sehingga membuat kontraktor enggan melakukan eksplorasi.

Selain itu adalah kebijakan kontrak skema gross split. Dengan skema ini, kontraktor tidak lagi mendapatkan penggantian biaya operasional dari pemerintah (cost recovery). Kontraktor khawatir kebijakan gross split akan berubah karena rezim pemerintahan berganti.

Ketiga, kondisi lapangan migas Indonesia yang sudah tua. Ini membuat keinginan berinvestasi dari kontraktor menjadi turun.

Untuk itu diperlukan terobosan dari pemerintah agar investasi migas bisa meningkat. "Ada usaha seperti keringanan pajak," kata Mamit kepada Katadata.co.id, Rabu (29/8).

Pemerintah juga perlu melakukan pembukaan data migas agar bisa mudah diakses investor. Dengan begitu investor memiliki ketertarikan untuk berinvestasi di wilayah kerja migas yang ada di Indonesia.

Mamit melihat selama ini data migas belum mudah diakses dan sifatnya masih terbatas, sehingga kontraktor enggan melakukan pengeboran lantaran data migas yang kurang. "Kalau mereka bor satu sumur lalu dry hole, mereka akan biarkan saja itu blok itu sampai habis kontraknya. Jadi perlu open data," ujarnya.

Sementara itu hingga Juli 2018 penggantian biaya operasi migas (cost recovery) sudah mencapai US$ 6,9 miliar. Ini sudah 68% dari target APBN sebesar US$ 10,1 miliar. SKK Migas memprediksi sampai akhir tahun cost recovery akan bengkak menjadi US$ 11,3 miliar.

(Baca: Lifting Migas Belum Capai Target, Cost Recovery Sudah US$ 5,2 Miliar)

Adapun penerimaan negara dari sektor hulu migas selama tujuh bulan terakhir telah mencapai US$ 10,1 miliar atau 85% dari target APBN sebesar US$ 11,9 miliar. SKK Migas memperkirakan sampai akhir tahun ini penerimaan negara bisa mencapai US$ 16,8 miliar atau 141% dari target APBN.

Reporter: Anggita Rezki Amelia