Neraca Gas Industri Retail dan Non Retail Dipisah

Arief Kamaludin|KATADATA
26/7/2018, 22.09 WIB

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sedang menyelesaikan neraca gas bumi terbaru. Dalam neraca gas ini ada beberapa perbedaan dengan yang lama.

Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Migas) Kementerian ESDM Djoko Siswanto mengatakan salah satu poin terbaru dalam neraca gas adalah pemisahan industri retail dan nonretail. Namun, dari segi volume tidak berubah.

Nantinya yang masuk kategori retail adalah pabrik baja, semen dan keramik. Adapun yang nonretail itu contohnya yang menjadi pelanggan PT Perusahaan Gas Negara (PGN) Tbk. “Kami kan industri retail dan nonretail jadi satu, produksinya sekian. Sekarang retail berapa, nonretail berapa,” kata dia di Jakarta, Kamis (26/7).

Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar juga pernah mengatakan poin lainnya dalam neraca gas. Dalam neraca baru itu, data stok gas tidak lagi agregat, melainkan ada rincian per daerah.

Adapun, jika ada daerah yang defisit gas, bisa mengambil dari dari daerah lain. “Apa semua defisit? Kan gas tergantung infrastruktur,” ujar Arcandra di Jakarta, Jumat (20/7).

Jika mengacu Neraca Gas Bumi Indonesia Tahun 2016-2035, Kementerian ESDM  memprediksi Indonesia akan mulai mengimpor gas pada 2019. Total pasokan gas dari dalam negeri saat itu diperkirakan hanya sebesar 7.651 mmscfd, sementara permintaan gas 9.323 mmscfd.

Lembaga riset Wood Mackenzie menyatakan Indonesia belum membutuhkan kontrak jangka panjang impor gas alam cair (Liquefied Natural Gas/LNG) hingga tahun 2025. Pertimbangannya dari sisi permintaan dan kondisi pasokan gas di dalam negeri.

Senior Expert Gas&Power Wood Mackenzie Edi Saputra mengatakan setidaknya ada dua hal yang menjadi alasan tak perlu impor dengan kontrak jangka panjang hingga delapan tahun ke depan. Pertama, dari segi penyerapan gas yang tidak signifikan dalam beberapa tahun ke depan.

Pada tahun 2020, Wood Mackenzie memprediksi konsumsi LNG mencapai 8 mtpa dari sebelumnya tahun 2016 hanya 2,8 mtpa. Namun setelah 2020 ada penurunan secara perlahan, kemudian pada 2030 akan meningkat lagi menjadi 15 mtpa.

(Baca: Dua Alasan Indonesia Tak Perlu Impor Gas Jangka Panjang Hingga 2025)

Faktor lainnya yang membuat pemerintah Indonesia belum perlu impor jangka panjang adalah adanya suplai dari dalam negeri. Suplai dalam negeri akan bertambah karena pemerintah sudah mulai mengurangi ekspor. Hal ini terlihat dari adanya kontrak yang sudah akan berakhir tapi tidak diperpanjang.