Lokasi Pembangunan Smelter Freeport Masih Belum Ditentukan

ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja
Sejumlah Haul Truck dioperasikan di area tambang terbuka PT Freeport Indonesia di Timika, Papua.
24/7/2018, 12.58 WIB

Lokasi pembangunan pabrik pengolahan dan pemurnian (smelter) PT Freeport Indonesia hingga kini belum ditentukan. Padahal membangun smelter merupakan kewajiban yang diamanatkan dalam Kontrak Karya yang diteken 1991 dan Undang-undang (UU) Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara. 

Di Kontrak Karya tahun 1991, pembangunan smelter tertuang pada pasal 10 ayat 4. Bunyinya perusahaan harus mengolah biji untuk menghasilkan logam atau produk lain yang dapat dijual. Atas dasar itu, Freeport harus menyusun dan mengusahakan untuk disusun suatu studi kelayakan mengenai kemungkinan di dirikannya pabrik peleburan di Indonesia.  

Bahkan pasal lima juga memuat batas waktunya. Apabila dalam lima tahun sejak ditandatanganinya persetujuan ini, fasilitas peleburan dan pemurnian tembaga yang berlokasi di Indonesia belum terbangun, Freeport harus melakukan atau menyebabkan pendirian pabrik pengolahan dan pemurnian tembaga di Indonesai sesuai dengan kebijaksanaan pemerintah.

Namun, setelah lima tahun Kontrak Karya itu diteken 1991, smelter tak kunjung terbangun. Pemerintah pun mengeluarkan UU Nomor 4 tahun 2009. Dalam pasal 170 UU Minerba, pemegang kontrak karya yang sudah berproduksi wajib melakukan pemurnian selambatnya lima tahun sejak UU diundangkan.

Akan tetapi, hinggga kini smelter juga belum terbangun. Hal ini pun menjadi sorotan dari Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI. Anggota Komisi VII dari Partai Demokrat Muhammad Nasir mempertanyakan kebijakan pemerintah yang memberikan izin ekspor kepada Freeport, meskipun belum membangun smelter.

Adapun Freeport memperoleh izin ekspor sebanyak 1,2 wet ton hingga 15 Februari 2019. “Izin ekspor bisa dikeluarkan kalau smelter dibangun. Tapi, Freeport tidak ada tanda-tanda kehidupan untuk membangun smelter, izin tetap keluar,” kata Nasir saat Rapat bersama Direktur Jenderal Minerba Bambang Gatot Ariyono dan Direktur Utama PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) Budi Gunadi Sadikin, Senin (23/7).

Bambang Gatot pun menanggapi hal itu. Menurutnya, pembangunan smelter memang tidak serta merta langsung terlihat fisiknya. Tapi, harus mulai dari studi. Kemudian setelah tahun ke dua dan ketiga baru terlihat pekerjaan fisiknya. “Tiga tahun minimal dan lima tahun paling lama,” ujar dia.

Saat ini, Freeport sudah melakukan studi pembangunan smelter. Dalam studi itu pembangunan smelter akan dilakukan di Gresik, Jawa Timur. Bahkan mereka sudah mengeluarkan dana sebesar US$ 26 juta.

Selain itu, PT Freeport Indonesia (PTFI) dan PT Amman Mineral melakukan studi bersama terkait rencana pembangunan smelter. Opsinya ada di Nusa Tenggara Barat.

Di sisi lain, pemerintah juga menggandeng Sucofindo sebagai surveyor independen untuk memantau perkembangan pembangunan smelter. “Kalau membangun smelter di awal berat juga. Mungkin dia juga akan bergabung dengan PT Amman Mineral Nusa Tenggara,” ujar Bambang.

(Baca: Jonan: Freeport Harus Bangun Smelter)

Menurut Budi Gunadi Sadikin, Indonesia berpeluang menjadi negara smelter terbesar di dunia jika memang rencana pembangunan itu bisa terlaksana. "Kalau Indonesia jadi bangun smelter US$ 2,4 miliar, akan menjadi negara smelter terbesar di dunia,” kata dia.  

Reporter: Fariha Sulmaihati