Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyatakan ada beberapa perusahaan asing yang berminat untuk mencari cadangan minyak dan gas bumi (migas) di Indonesia. Salah satunya Norwegia.

Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar mengatakan perusahaan Norwegia yang berminat itu adalah Petroleum Geo-Services (PGS). Menurutnya perusahaan ini berencana untuk melakukan survei seismik di Indonesia. "Kemarin dia datang minat untuk itu," kata dia di Jakarta, Kamis (19/4).

Arcandra belum mau merinci lokasinya. Namun, nantinya data hasil survei dari perusahaan itu dapat dimiliki oleh perusahaan tersebut dan dapat dikomersialkan. Alasannya perusahaan tersebut telah mengeluarkan biaya untuk mencari data migas.

Pemerintah memang terus berupaya meningkatkan cadangan dan produksi migas. Upaya tersebut antara lain program joint study (studi bersama), melakukan survei umum, dan percepatan persetujuan proposal pengembangan (Plan of Development/PoD).

Mengacu data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), cadangan minyak terbukti Indonesia hanya3,3 miliar. Jika produksi minyak tetap di level 800 ribu bph dan tidak ada temuan cadangan baru, Indonesia tidak mampu memproduksi minyak dalam 11 hingga 12 tahun ke depan.

Sebelumnya Sekretaris SKK Migas Arif S. Handoko mengungkapkan potensi ladang migas di Indonesia. Dari 128 cekungan, masih ada 74 yang belum dikembangkan di Indonesia. “Ini peluang bagi industri hulu untuk memacu eksplorasi," ujarnya saat diskusi di Bursa Efek Indonesia, Jakarta pada Senin (16/4).

Dari total 128 cekungan tersebut,hanya 18 yang sudah berproduksi. Sementara, 12 lainnya sudah dilakukan pengeboran dengan penemuan. Lalu, 24 cekungan sudah dibor namun tanpa penemuan.

(Baca: SKK Migas Ungkap Potensi Pengembangan Ladang Migas di Indonesia)

Adapun untuk tahun ini, nilai investasi di blok eksploitasi, ditargetkan mencapai US$ 13,36 miliar. Kemudian naik menuju US$ 14,35 miliar pada 2019, dan US$ 14,20 miliar pada tahun 2020.

Sementara itu, nilai investasi blok esplorasi pada 2018 diperkirakan hanya US$ 1,8 miliar. Pada 2019, nilainya naik menjadi US$ 2,1 miliar, dan setahun berikutnya menjadi US$ 2,04 miliar.

Reporter: Anggita Rezki Amelia