Arcandra Ungkap Enam Sebab PLTS Sulit Berkembang di Indonesia

ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra
Teknisi melakukan perawatan instalasi panel listrik tenaga surya di Hotel Wujil, Ungaran, Jawa Tengah, Rabu (30/10/2016)
1/2/2018, 16.11 WIB

Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arcandra Tahar menyoroti sejumlah faktor yang menjadi kendala pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di Indonesia. Salah satunya adalah permasalahan lahan.

Untuk membangun PLTS, ada kendala untuk membebaskan lahan. Apalagi di kota seperti Jakarta, sangat sulit mendapatkan lahan gratis membangun PLTS. Ini berbeda dengan Uni Emirat Arab yang memberikan lahan secara gratis untuk investor dalam mengembangkan tenaga surya.

Permasalahan kedua adalah kualitas sinar matahari di Indonesia yang tidak sebesar negara Arab. Arcandra mengatakan kapasitas faktor listrik dari energi surya di Indonesia rata -rata sebesar 18%, sementara di negara negara Arab bisa mencapai 24%. Kapasitas faktor sendiri adalah perbandingan antara jumlah produksi listrik selama periode operasi terhadap jumlah produksi terpasang selama periode tertentu.

Ketiga, tingkat bunga pinjaman (interest rate) bagi investor untuk pengembangan energi terbarukan di Indonesia lebih tinggi dibandingkan negara Arab. Bunga pinjaman di Indonesia masih sekitar 10-11% sementara di negara Arab bisa di bawah 2%.

Keempat, masalah perpajakan. Jika di negara Arab, investor tidak dibebankan pajak, di Indonesia, dikenai pajak penghasilan sekitar 25%.

Kelima, PLTS Indonesia saat ini yang masih memakai sistem manual dalam pengoperasiannya. Jadi, jika sinar matahari tertutup awan, sistem listrik akan terputus. Untuk menangani hal ini dibutuhkan sistem listrik smart grid.

Smart grid adalah jaringan listrik pintar yang mampu mengintegrasikan aksi-aksi atau kegiatan dari semua pengguna. "Kami belum punya smart grid, jadi sistem sekarang diatur secara manual, maka kalau istilah PLN itu sistem bisa demam, tiba tiba misalnya ada PLTS 200 MW ketutup awan, maka listriknya bisa mati," kata Arcandra dalam orasi ilmiah di Uiversitas Pertamina, Jakarta, Kamis (1/2).

Permasalahan lainnya adalah pola konsumsi listrik. Menurut Arcandra, PLTS di Uni emirat Arab bisa maju karena beban puncaknya terjadi di siang hari. Ini sesuai dengan sistem kerja PLTS yang bekerja optimal saat matahari terbit.

Sementara di Indonesia kebalikannya, beban puncak terjadi di malam hari. Alhasil butuh baterai agar mampu menyimpan energi yang dihasilkan saat siang hari untuk dipakai di malam hari.

Permasalahan baterai sebenarnya juga terjadi untuk pembangkit listrik tenaga angina. Saat ini belum ada baterai yang efisen menampung energi yang dihasilkan dari angin. “Baterainya  ada, tapi mahal," kata Arcandra.

Permasalahan itulah yang memicu tarif listrik dari PLTS di Indonesia mahal. Padahal Uni Emirat Arab, tarif listriknya bisa dibawah US$ 3 sen per kWh. "Nah untuk mencapai US$ 3 sen per kWh ini masih jauh, kami harus selesaikan masalah itu dulu, ini persoalan kita di PLTS," kata Arcandra.

Sementara itu, sejak Januari - September 2017 ,tercatat porsi EBT dalam bauran energi pembangkit listrik mencapai 12,52%. Angka tersebut melebihi target APBN-P 2017 yang sebesar 11,96%.

(Baca: Investasi di Sektor Energi Baru Terbarukan Makin Diminati)

Bauran EBT sebesar 12,52% tersebut, terdiri dari Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) sebesar 5%, Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) sebesar 7,27% dan EBT lainnya sekitar 0,25%.

Reporter: Anggita Rezki Amelia