Pemerintah tengah mengkaji pemangkasan megaproyek pembangkit listrik 35 Gigawatt (GW). Hal ini dilakukan karena permintaan listrik rendah dan agar proyek itu tidak membebani keuangan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero)/PLN.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan revisi itu bukan keinginan pemerintah, tapi menyesuaikan pertumbuhan permintaan listrik. Adapun permintaan listrik semester II negatif, meskipun ekonomi masih tumbuh.
Padahal pembangkit listrik seharusnya dibangun sesuai dengan permintaan. Alasannya, jual beli listrik antara produsen dan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero)/PLN menggunakan skema take or pay. Artinya listrik yang sudah dihasilkan pembangkit swasta PLN itu harus tetap dibayarkan, meski tidak terpakai.
Jadi, jika proyek 35 GW tetap dilanjutkan, sedangkan permintaan rendah, maka ada listrik yang terbuang. "Memang tidak terhindarkan ada upaya adjustment, karena kalau tidak PLN akan memikul beban listrik. Satu atau dua tahun lagi lagi listrik yang dihasilkan tidak dipakai," ujar Darmin saat meresmikan renovasi Gedung Ali Wardhana di kantornya, Jakarta, Senin (16/10).
Menurut Darmin, kemungkinan target pembangkit akan dipangkas 20-25% menjadi hanya 28 GW hingga 26,25 GW. Hal ini menyesuaikan dengan besaran pertumbuhan permintaan listrik.
Darmin juga tidak yakin proyek strategis nasional ini akan selesai dibangun pada 2019. "Hanya pembangkit menengah dengan gas yang selesai. Kalau batubara, tiga tahun selesai itu saja sudah syukur," kata dia.
Proyek pembangkit 35 GW memang menjadi sorotan pemerintah terlebih Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Bahkan mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini mengirimkan surat kepada Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno dan Menteri Energi dan Sumber Mineral (ESDM) Ignasius Jonan terkait hal itu.
Surat itu menyoroti kemampuan keuangan PLN dalam menjalankan proyek 35 GW. Menurut Sri Mulyani rasio utang terhadap pendapatan (Debt Service Ratio/DSR) yang aman minimal 1,5 kali. Namun, DSR PLN di bawah itu.
Adapun jumlah utang yang harus mengikuti ketentuan DSR itu mencapai Rp 40 triliun. Sebanyak 25% di antaranya merupakan utang yang dijamin pemerintah. Jadi, ketika batas DSR dilanggar, pemerintah harus mengajukan keringanan (waiver) kepada pemberi pinjaman.
Dengan kondisi keuangan yang demikian, PLN memiliki tanggungan untuk mengerjakan penugasan pemerintah terkait proyek pembangkit listrik berkapasitas 35 GW. "Karena sebagian adalah domain korporat PLN, tapi sebagian adalah karena policy pemerintah oleh karena itu surat itu ditujukan ke Kementerian ESDM dan Kementerian BUMN. Kami akan terus monitor kondisi keuangan PLN," kata dia.