PT Freeport Indonesia berpeluang membayar pajak penghasilan (PPh) lebih rendah dari kontrak yang ada saat ini jika menggunakan sistem prevailing (tidak tetap). Sistem prevailing ini diterapkan apabila status hukum perusahaan asal Amerika Serikat itu berubah menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) dari sebelumnya Kontrak Karya (KK).   

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan dengan status IUPK dan skema prevailing itu, Freeport akan dikenakan pajak penghasilan sebesar 25%. Ini mengacu pada Undang-undang Nomor 36 tahun 2008.

Padahal dalam kontrak karya yang ditanda tangani tahun 1991, pajak penghasilan yang harus dibayarkan Freeport adalah 35%. Ini berdasarkan Undang-undang Nomor 7 tahun 1983.

Selain itu, Freeport juga akan dipungut penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sebesar 10%. Rinciannya 6% disetorkan kepada pemerintah pusat dan 4% untuk pemerintah daerah.

Hal tersebut sesuai dengan pasal 133 Undang-undang (UU) Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba). "Semua pajak akan sesuai dengan (aturan) yang berlaku," kata Sri Mulyani usai menghadiri peluncuran Indonesia Economic Wuarterly (IEQ) di Soehana Hall Energy Building, Jakarya, Selasa (3/10).

Tidak hanya itu, Freeport nantinya juga membayar pajak lainnya. Di antaranya adalah Pajak Bumi Bangunan (PBB), royalti, pajak pertambahan nilai (PPN) dan pembagian dengan pemerintah daerah (pemda).

Semua kewajiban itu nantinya akan dituangkan dalam Peraturan Pemerintah (PP). "Kami masih mempersiapkan agar bisa menggunakan Peraturan Pajak ini untuk mengatur apa kewajiban pajak dan non pajak semua IUPK," kata Sri Mulyani.

Di sisi lain, Freeport pernah berharap ketentuan pajak mengikuti aturan yang berlaku dalam Kontrak Karya, yakni menggunakan sistem nail down. Artinya sepanjang masa berlaku izin, perusahaan tidak dipungut pajak selain yang ada di kesepakatan awal. Sedangkan jika memakai sistem prevailing, pajak bisa berubah mengikuti aturan yang ada.

Secara umum pajak yang harus dibayarkan Freeport berdasarkan kontrak karya adalah PPh badan sebesar 35%. Kemudian iuran tetap, royalty, PPh karyawan, PPN, PBB, pajak daerah, pungutan administrasi umum, dan, pajak pemindahan kendaraan bermotor.

Namun Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo berpendapat  lebih rendahnya PPh tersebut bukan lah keringanan yang diberikan pemerintah. Itu hanya konsekuensi dari perubahan status hukum perusahaan tambang.

Sebaliknya, Prastowo menduga pemerintah akan memanfaatkan negosiasi ini untuk meningkatkan tarif non pajak. “Masa negosiasi ini kan kesempatan,” kata dia kepada Katadata.