Lembaga riset Wood Mackenzie menyatakan Indonesia belum membutuhkan kontrak jangka panjang impor gas alam cair (Liquefied Natural Gas/LNG) hingga tahun 2025. Pertimbangannya dari sisi permintaan dan kondisi pasokan gas di dalam negeri.

Senior Expert Gas&Power Wood Mackenzie Edi Saputra mengatakan setidaknya ada dua hal yang menjadi alasan tak perlu impor dengan kontrak jangka panjang hingga delapan tahun ke depan. Pertama, dari segi penyerapan gas yang tidak signifikan dalam beberapa tahun ke depan.

(Baca: Ada 3 Megaproyek Hulu Migas, Pemerintah Batal Impor Gas Tahun 2019)

Sampai saat ini gas dari dalam negeri paling banyak diserap oleh PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) (PLN). Menurut Edi, meski 13,5 giga watt (GW) dari megaproyek 35 GW merupakan pembangkit gas, hal itu belum cukup membantu meningkatkan penyerapan.

Penyerapan gas ini tergantung pada utilitas dari pembangkit listrik. Sekarang, utilitas pembangkit listrik tenaga gas memang masih berkisar 70%. Namun, pada periode 2020 hingga 2025, banyak pembangkit batubara yang akan mulai beroperasi.

Kapasitas pembangkit batubara yang akan beroperasi tersebut juga tidak tergolong kecil yakni sekitar 1.000 hingga 2.000 MW. Beberapa diantaranya PLTU Cirebon ekspansi berkapasitas 1x1.000 MW, PLTU Cilacap ekspansi berkapasitas 1x1.000 MW, dan PLTU Tanjung Jati B Ekspansi 2x1.000 MW.

Beroperasinya pembangkit batubara ini akan menurunkan tingkat utilisasi dari yang berbahan gas. Apalagi harga batubara lebih murah. Jadi, jika utilisasi pembangkit gas hanya 30% atau 40% maka serapan gasnya juga tidak akan besar.

(Baca: Pasokan untuk Pembangkit Listrik Minim, 18 Kargo Gas Belum Terjual)

Pada tahun 2020, Wood Mackenzie memprediksi konsumsi LNG mencapai 8 mtpa dari sebelumnya tahun 2016 hanya 2,8 mtpa. Namun setelah 2020 ada penurunan secara perlahan, kemudian pada 2030 akan meningkat lagi menjadi 15 mtpa.

Faktor lainnya yang membuat pemerintah Indonesia belum perlu impor jangka panjang adalah adanya suplai dari dalam negeri. Suplai dalam negeri akan bertambah karena pemerintah sudah mulai mengurangi ekspor. Hal ini terlihat dari adanya kontrak yang sudah akan berakhir tapi tidak diperpanjang.

(Baca: Dilarang Impor Gas, Pertamina Sasar Pasar Asia)

Dengan tidak diperpanjangnya kontrak tersebut, maka gas tersebut akan masuk ke pasar domestik. Sehingga cukup untuk memenuhi permintaan. “Perkiraan kami itu tahun 2020 dan 2025 ada small gap, tapi tidak signifikan. Jadi belum diperlukan longterm import sampai 2025,” ujar dia di Jakarta, Kamis (13/7).