Komisi Energi (VII) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengusulkan pembentukan Badan Usaha Khusus Minyak dan Gas Bumi (BUK Migas) dalam draf revisi UU Minyak dan Gas Bumi (migas). Namun, usulan itu terbentur Undang-undang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) terkait dengan posisi dan kedudukan BUK.

Menurut Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Firman Soebagyo, draf revisi UU Migas memuat penjelasan kedudukan dan tanggung jawab BUK yang berada langsung di bawah Presiden. Selain itu, seluruh modal dan kekayaannya dimiliki oleh negara. (Baca: Revisi UU Migas, DPR Rancang Badan Usaha Khusus Migas)

Dengan definisi itu, jika mengacu UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang  BUMN pada Pasal 1 dan RUU BUMN Pasal 1, BUK Migas masih tergolong sebagai BUMN. Jika masih tergolong BUMN maka BUK Migas seharusnya masih berada di bawah koordinasi Menteri BUMN.

Untuk menyeleraskan hal tersebut, Baleg akan berdiskusi dengan para pemangku kepentingan seperti Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Kementerian BUMN, PT Pertamina (Persero), SKK Migas hingga asosiasi terkait migas. "Kami dengarkan dari semua aspirasi stake holder, karena ini strategis sekali," kata dia kepada Katadata, dua hari lalu. 

Setelah itu, Baleg akan membentuk panitia kerja (panja) untuk membahas secara rinci subtansi RUU Migas. Pembentukan panja perlu sebab RUU Migas termasuk dalam program legislasi nasional (prolegnas) RUU prioritas tahun 2017.

Anggota Komisi VII DPR Ramson Siagian juga menyepakati keinginan baleg untuk mengundang seluruh pemangku kepentingan, termasuk Komisi VI DPR. Tujuannya adalah mengharmonisasikan pembentukan induk usaha (holding) BUMN dan BUK. 

(Baca: Pemerintah dan DPR Sepakat RUU Migas Selesai Tahun Ini)

Di sisi lain, ada beberapa alasan yang membuat Komisi VII DPR mengusulkan pembentukan BUK Migas. Salah satunya adalah mendongkrak produksi siap jual (lifting) migas. Apalagi selama ini realisasi lifting tak pernah selalu mencapai target.

Menurut Ramson, salah satu penyebab rendahnya lifting adalah kelembagaan di sektor hulu yang mempengaruhi eksplorasi. "Faktor kelembagaan  dan tata kelola migas itu mempengaruhi berkurangnya eksplorasi, sehingga berkurang juga penemuan cadangan baru yang berdampak pada pengurangan lifting migas," kata dia. 

Sebagai contoh, saat UU Migas 2001 diterbitkan, realisasi lifting minyak masih sebesar 1,1-1,2 juta barel per hari (bph). Sementara beberapa tahun ini sudah menurun di kisaran 780-800 ribu bph. (Baca: Produksi Migas Kuartal I-2017 10 Kontraktor Besar Menurun)

Harapannya, BUK Migas ini akan mendorong kegiatan eksplorasi migas berjalan masif. Sebab, salah satu fungsi dan tugas lembaga ini adalah merencanakan dan meningkatkan temuan​ cadangan terbukti migas. "Jadi kontraktor tidak perlu lagi mengurus hal-hal administratif, makanya ada unit hulu kerjasama," kata Ramson.