Optimistis Menang Arbitrase, Luhut Sebut Freeport 'Kampungan'

Arief Kamaludin (Katadata)
Penulis: Miftah Ardhian
Editor: Yura Syahrul
21/2/2017, 20.38 WIB

Pemerintah tidak gentar dengan ancaman arbitrase yang disuarakan oleh PT Freeport Indonesia. Bahkan, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan optimistis pemerintah akan menang jika perusahaan asal Amerika Serikat tersebut memperkarakan kebijakan perubahan Kontrak Karya (KK) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).

Optimisme itu bersandarkan kepada peraturan yang telah diberlakukan oleh pmerintah. "Kami tahu kan yang jelas undang-undang di kita, peraturan di kita, pengadilan di kita, masak tidak (menang)," ujar Luhut di Jakarta, Selasa (21/2).

Menurut dia, Freeport sudah sekitar 50 tahun beroperasi di Indonesia. Jadi, perusahaan itu seharusnya menghormati dan menaati peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Namun, kenyataannya, saat ini Freeport belum bisa mematuhi aturan yang sudah ditetapkan pemerintah.

(Baca: Jokowi Serahkan Persoalan Freeport kepada Jonan)

Hingga kini, Freeport belum menjalankan kewajibannya seperti membangun fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) untuk hasil tambangnya. Padahal, kewajiban ini telah diatur dalam Undang-Undang Mineral dan Batu Bara Tahun 2009. 

Freeport seharusnya telah menjalankan kewajiban tersebut pada 2014. Lantaran belum juga memenuhi kewajibannya, pemerintah memberikan kelonggaran hingga Januari 2017. Meski begitu, hingga kini Freeport belum juga merealisasikannya.

Selain itu, peraturan baru memberikan kesempatan kepada perusahaan tambang untuk mengubah status KK menjadi IUPK agar bisa mengekspor konsentrat meskipun belum membangun smelter. Seiring perubahan kontrak menjadi izin usaha, ada kewajiban divestasi 51 persen saham untuk dalam negeri. Namun, Freeport belum menyetujui aturan-aturan tersebut.

Alhasil, Luhut percaya, pemerintah akan memenangkan gugatan arbitrase jika diajukan oleh Freeport. Bahkan, dia memprediksi, harga saham Freeport akan anjlok dan pemerintah bisa saja membeli mayoritas sahamnya dengan harga murah. "Banyak opsi begitu. Jangan dikira Indonesia bisa diatur-atur," ujarnya.

Adapun terkait dengan ancaman Freeport melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) para karyawannya, Luhut menganggap hal tersebut tidak etis. Ia menganggap karyawan seharusnya menjadi tanggung jawab perusahaan. "Kampungan itu, itulah saya bilang kampungan itu. Kalau perusahaan profesional tidak boleh seharusnya," ujarnya.

(Baca: Hadapi Ancaman Arbitrase Freeport, Luhut: Masa Kita Diatur)

Luhut juga mengatakan, Freeport jangan berlaku seolah-olah sudah memberikan kontribusi paling besar bagi Indonesia. Menurutnya, klaim pemberian 60 persen kontribusi kepada Indonesia masih jauh di bawah kontribusi pertambangan batu bara yang mencapai 80-85 persen.

Di sisi lain, Luhut menegaskan jika Freeport tidak ingin mengubah status kontraknya menjadi IUPK, maka pemerintah akan tetap menghormati KK yang masih berlaku hingga 2021. Namun, sesuai aturan, pemerintah tidak akan memberikan izin kepada Freeport untuk mengekspor hasil tambangnya.

(Baca: Tantang Balik Freeport, Jonan: Mau Berbisnis atau Berperkara?)

Kalaupun Freeport enggan menaati peraturan pemerintah Indonesia dan kalah di pengadilan arbitrase, Luhut secara tersirat menyatakan tidak akan memperpanjang kontrak pertambangannya di Indonesia. "Nanti bisa diambil pemerintah, bisa dengan menggandeng swasta," ujarnya.

Luhut pun yakin, jika Freeport hengkang dari Indonesia, akan ada banyak anak bangsa yang sanggup mengelola tambangnya. Alasannya, saat ini pun, terdapat 500 lulusan Institut Teknologi Bandung (ITB) yang telah bekerja di Freeport.