Di banyak negara, biaya pemanfaatan tenaga surya untuk listrik kini sudah lebih murah ketimbang batubara. Dalam satu dekade, diprediksi akan ada lebih banyak negara yang menjadikan solar panel sebagai sumber energi utamanya. Bagaimana dengan Indonesia?
Sejak 2009 harga listrik tenaga surya telah merosot sampai 62 persen. Jenny Chase, Kepala Analisis Tenaga Surya dari New Energy Finance, menyatakan bahwa pada tahun 2025 biaya untuk mendirikan pembangkit listrik tenaga surya akan mencapai 73 sen per watt, turun 36 persen jika dibandingkan dengan US$ 1,14 saat ini.
Prediksi lainnya datang dari Laboraturium Energi Terbarukan Departemen Energi Amerika Serikat, yang menyebut penurunan biaya dari US$ 1,2menjadi $ 1 per watt pada 2020. “Teknologi yang ada saat ini tentu akan semakin hemat nantinya,” kata kepala proyek, Donald Chung seperti dikutip Bloomberg.
(Baca juga: Jokowi Resmikan Tiga Proyek Pembangkit Panas Bumi Rp 6 Triliun)
Melihat tren yang ada, listrik tenaga surya dipastikan akan lebih murah ketimbang batubara, meski titik persilangannya berbeda di tiap nNegara. Di negara importir batubara seperti Brasil dan Eropa, tenaga surya bakal menyalip batubara sebagai sumber listrik termurah pada 2020. Di negara lain yang kaya batubara seperti Cina dan India, waktunya bisa lebih lama.
Bloomberg New Energy Finance memprediksi pada 2025, secara global tenaga surya bisa jadi lebih murah dari batubara. Hal itu berdampak pada makin rendahnya premi resiko pinjaman bank, dan karenanya mampu mendorong kapasitas produksi di berbagai lokasi.
Sampai saat ini total kumulatif kapasitas tenaga surya untuk seantero dunia mancapai 177.003 Megawatt. Jumlah itu cukup untuk menyuplai listrik untuk lebih dari 29 juta rumah. Lima negara yang paling banyak memanfaatkan tenaga surya antara lain: Jerman (38.250 Megawatt), Cina (28.330 Megawatt), Jepang (23.049 Megawatt), Italia (18.622 Megawatt), dan Amerika Serikat (18.317 Megawatt).
(Baca juga: Inflasi Naik Akibat Tarif Listrik, Ekonomi 2017 Terancam Stagnan)
Tahun lalu, beberapa negara telah memecahkan rekor kontrak pengadaan pembangkit listrik tenaga surya termurah dengan harga kurang dari 3 sen per kilowatt-hour. Chile misalnya, menyepakati kontrak seharga 2,91 sen per kilowatt-hour, sedangkan lelang yang dilakukan Uni Emirat Arab berhasil mencapai angka 2,41 sen per kilowatt-hour.
Angka tersebut hampir setengah dari rerata biaya pembangkit listrik tenaga batubara. “Angka ini merupakan game-changing. Setiapkali melipatgandakan kapasitas, harga akan berkurang sebanyak 20 persen,” kata Direktur Jenderal International Renewable Energy Agency, Adnan Amin.
Tahun ini, beberapa negara “mandi matahari” seperti Arab Saudi, Yordania, dan Meksiko berencana menggelar lelang dan tender untuk proyek serupa dengan harga yang diperkirakan bakal lebih rendah lagi. Bagaimana dengan Indonesia?
(Baca juga: Kembangkan Energi Baru Tanpa Subsidi, Pemerintah Buat Aturan Tarif)
Sementara di Indonesia yang kaya batubara, potensi tenaga surya tampaknya belum terlalu banyak dilirik. Sebab dalam skala besar, teknologi listrik tenaga surya masih harus diimpor. Meski pemerintah menargetkan bauran energi baru terbarukan pada pembangkit listrik sebesar 23 persen di 2025.
Sebagai negeri khatulistiwa, tenaga surya telah dipandang sebagai sumber energi alternatif yang bersih. Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) menargetkan tambahan listrik sebesar 539,76 Megawatt berasal dari sumber energi baru dan terbarukan pada 2017.
Menteri ESDM Ignasius Jonan mengatakan, di antara tambahan tersebut berasal dari Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dan Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) bertambah sebesar 9,16 Megawatt.
Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) sebesar 215 Megawatt, sehingga pasokan listrik dari PLTP meningkat dari sebesar 1.643,5 Megawatt pada 2016 menjadi 1.858,5 Megawatt pada 2017. "Listrik dari PLTP pada tahun 2017 ditargetkan menjadi sebesar 1.858,5 Megawatt," kata Jonan (21/12) lalu.