Buat Sinergi, Menteri Rini Restui Pertamina Geothermal Dibeli PLN

Arief Kamaludin|KATADATA
Penulis: Miftah Ardhian
Editor: Yura Syahrul
12/8/2016, 18.22 WIB

Rencana PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) mengakuisisi PT Pertamina Geothermal Energy (PGE) mendapat dukungan dari Menteri BUMN Rini Soemarno. Langkah tersebut diharapkan bisa memperkuat pendanaan anak usaha PT Pertamina (Persero) ini untuk mengembangkan energi panas bumi di Indonesia.

Menurut Rini, PGE perlu dikembangkan karena panas bumi akan menjadi sumber energi primer di masa depan dan bahan bakar pembangkit listrik. Namun, PGE membutuhkan suntikan dana untuk pengembangan usahanya, terutama dalam melakukan konversi panas bumi menjadi tenaga listrik.

Di sisi lain, PLN merupakan penjual listrik sedangkan Pertamina melalui anak usahanya memproduksi panas bumi. Rini pun menginginkan agar panas bumi sebagai energi bersih dan energi terbarukan lebih cepat dimanfatkan. "Karena itu saya minta ini menjadi partner berdua (PLN dan PGE). Karena satu ada kekuatannya untuk mengebor, yang satu listriknya, transmisinya, pemasaran listriknya itu semua ada PLN," ujar dia di Jakarta, Jumat (12/8).

Sementara itu, Deputi Bidang Usaha Energi, Logistik, Kawasan, dan Pariwisata Kementerian ESDM Edwin Hidayat Abdullah mengatakan, rencana akuisisi oleh PLN tersebut bertujuan menjadikan PGE sebagai perusahaan induk (holding) sektor panas bumi yang dimiliki oleh BUMN.

Dengan target pertumbuhan energi panas bumi mencapai 3.000 MW pada tahun 2020, dibutuhkan dana sangat besar untuk merealisasikannya. (Baca: PLN Akan Akuisisi 50 Persen Saham Pertamina Geothermal)

Selama ini, keuangan PGE hanya ditopang oleh induk usahanya yaitu Pertamina. Dengan proyek-proyek besar yang dibebankan kepada Pertamina, tentunya akan semakin memberatkan neraca keuangan perusahaan pelat merah tersebut untuk mendukung pengembangan energi panas bumi.

Sebaliknya, kalau diakuisisi dan dimiliki oleh PLN maka PGE mendapatkan suntikan dana. "Artinya kalau PGE harus dibesarkan, dan kepentingannya adalah PLN (listrik), maka harus dibentuk institusi yang secara bisnis dan keuangannya kuat, yang tidak mengganggu perannya," kata Edwin.

Selain itu, akuisisi PLN atas PGE itu untuk efisiensi. "Ketika kita bidding baru, kalo PLN menawar dan Pertamina juga menawar, ini kantidak efisien. Lebih baik satu saja entitasnya yang solid," ujarnya. (Baca: Pemegang Izin Panas Bumi Wajib Setor Bonus Produksi ke Pemda)

Namun, Edwin memastikan, pengelolaan PGE secara tidak langsung masih berada di bawah Pertamina. Sedangkan masuknya PLN akan memudahkan PGE beroperasi di Wilayah Kerja Pertambangan (WKP) panas bumi milik PLN. Suntikan dana segar dari PLN juga bisa dipakai untuk mengambil alih WKP milik swasta.

Jika rencana itu terealisasi dan berjalan mulus maka PGE akan memiliki ekuitas yang semakin besar. Ini dapat digunakan untuk mengakuisisi aset-aset panas bumi milik perusahaan energi besar, seperti Chevron yang sedang melepaskan aset-asetnya di negara-negara Asia.

Sedangkan Direktur Utama PLN Sofyan Basir mengatakan, dampak akuisisi atas PGE adalah harga listrik untuk konsumen menjadi lebih murah. Penyebabnya, prosesnya selama ini adalah Pertamina yang menggali dan mengebor panas bumi sedangkan PLN membeli uap tersebut. 

"Manfaatnya jadi besar, jadi efisien. Perusahaannya ambil uap, langsung dijadikan listrik," ujar Sofyan. Namun, dia belum mengetahui besaran biaya yang harus dikeluarkan PLN untuk mengakuisisi PGE. 

Sebelumnya, Sofyan mengungkapkan PLN akan membeli 50 persen saham PGE dari tangan Pertamina. "Ini perintah dari Rini Soemarno," katanya. 
(Baca: Ribut Pertamina-PLN, Pembangkit Panas Bumi Kamojang Terganggu)

Sekadar tambahan informasi, dalam beberapa kesempatan PLN dan Pertamina sempat berbeda pandangan mengenai harga panas bumi. Salah satunya adalah harga uap untuk Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) 1, 2, dan 3 Kamojang, Garut, Jawa Barat.

PLN menganggap harga uap yang ditawarkan Pertamina terlalu mahal. Menurut PLN, harga uap di Kamojang seharusnya sekitar Rp 535 per kwh atau sebesar US$ 4 sen. Namun, Pertamina menawarkan harga lebih tinggi dengan jangka waktu hanya lima tahun. Akhirnya, kesepakatan tercapai setelah Rini menegur kedua perusahaan itu.