Revisi Kontrak Migas Non-Konvensional Ditargetkan Oktober

Arief Kamaludin|KATADATA
Penulis: Safrezi Fitra
3/8/2015, 14.30 WIB

KATADATA – Pemerintah akan segera mengubah Kontrak Kerja Sama usaha minyak dan gas bumi (migas) non-konvensional untuk gas methana batu bara (GMB) atau coal bed methane (CBM). Beberapa poin yang akan diubah antara lain terkait aspek komersial dan jangka waktu kontrak.

Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Migas (SKK Migas) Amien Sunaryadi mengatakan dari aspek komersial kontrak blok migas non-konvensional akan berbeda dengan yang konvensional. Kontraktor CBM akan diizinkan memonetisasi hasil yang didapat sebelum berproduksi. Jadi, para kontraktor bisa menjual gas yang didapat saat blok itu masih dalam masa eksplorasi. Gas tersebut dinilai lebih baik dijual, daripada tidak digunakan sama sekali. Hasil penjualannya akan dibagi antara kontraktor dan pemerintah.

"Kontraktornya juga tidak mau kalau keluar gas, bisa dijual, dia tidak mendapat bagian. Tapi kalau untuk dirinya sendiri, dia salah. Ini yang akan diatur lagi," kata Amien di Hotel Dharmawangsa, Jakarta, Jumat (31/7).

(Baca: Sistem Kerjasama Migas Non Konvensional Akan Diubah)

Selain itu, perubahan kontrak kerjasama menyangkut aspek teknis mengenai peralatan yang digunakan. Contohnya ketika melakukan pengeboran, kontraktor wajib menggunakan peralatan yang dipakai pada pengeboran migas konvensional. "Nantinya ini akan diubah. Tidak perlu lagi menggunakan bor migas konvensional," imbuh Amien. Jangka waktu kontrak juga akan dievaluasi. "Bisa saja jangka waktu kontrak GMB diperpanjang, lebih lama dari kontrak migas konvensional."

Menurut Amien, kajian mengenai revisi peraturan kontrak migas non-konvensional tersebut sudah rampung. "Mungkin Oktober atau November (bisa dilakukan perubahan kontraknya). Kami ingin wilayah kerjanya jalan," katanya.

Sementara itu, Direktur Pembinaan Usaha Hulu Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Djoko Siswanto mengaku, pemerintah sudah berdiskusi dengan pengusaha migas, Indonesia Petroleum Association (IPA) dan Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Indonesia (IATMI). "IPA dan IATMI mengusulkan sistem Gross PSC Sliding Scale," ujar dia.

Sistem Gross PSC Sliding Scale adalah pendapatan kotor yang dihasilkan dari suatu wilayah kerja langsung dibagi antara pemerintah dan pelaku usaha tambang CBM. Jadi, tidak ada lagi istilah cost recovery dalam kontrak kerjasama migas non-konvensional. Sistem ini menguntungkan pemerintah karena tidak perlu lagi mengganti biaya yang dikeluarkan oleh kontraktor.

Djoko menargetkan usulan bentuk Kontrak Kerja Sama Gas Methana Batubara yang baru rampung dalam empat pekan ke depan. Selanjutnya, menyiapkan revisi Peraturan Menteri ESDM Nomor 38 tahun 2008 atau konsep peraturan menteri yang mengakomodasi bentuk kontrak kerjasama GMB baru dan peralihan terhadap kontrak eksisting yang sedang berjalan. Jadi, dalam dua bulan ke depan, konsep revisi permen sudah dapat disampaikan kepada Menteri ESDM.

Sistem kontrak kerjasama yang berlaku saat ini memang sering dikeluhkan oleh pelaku usaha migas non-konvensional. Beberapa perusahaan migas non-konvensional menganggap tidak tepat jika menggunakan sistem kontrak bagi hasil atau  production sharing contract (PSC). Perusahaan migas non-konvensional lebih cocok menggunakan sistem Gross PSC Sliding Scale.

Kementerian menyebut pengembangan migas non-konvensional seperti gas metana batu bara dan shale gas selama ini berjalan lambat. Saat ini sudah ada 54 proyek kontraktor kontrak kerjasama (KKKS) CBM. Namun hanya sedikit yang masih dikembangkan oleh KKKS, sedangkan sisanya ‘mati suri’. Belum lagi yang mengancam akan hengkang dari Indonesia. Bahkan, hingga saat ini belum ada satu pun investor tertarik menggarap proyek shale gas.

(Baca: Perusahaan Migas Non Konvensional Ancam Hengkang dari Indonesia)

Padahal migas non-konvensional sangat penting dikembangkan di Indonesia yang sudah hampir mengalami krisis energi. Data Kementerian ESDM menyebut potensi migas non-konvensional sebenarnya lebih besar dari yang konvensional. Potensi shale gas Indonesia diperkirakan mencapai 574 triliun kaki kubik (TCF), lebih besar jika dibandingkan CBM yang mencapai 453,3 TCF dan gas konvensional yang hanya sebesar 153 TCF.

Reporter: Arnold Sirait