Harga minyak turun lebih dari 3% pada perdagangan hari ini, Senin (2/11) dan menyentuh level terendah dalam lima bulan terakhir. Gelombang kedua virus corona di Eropa menyebabkan penurunan tersebut. Selain itu, para pedagang pun bersiap menghadapi turbulensi di pekan penentuan pemilihan presiden Amerika Serikat.
Mengutip dari Reuters, harga minyak Brent LCOc1 untuk pengiriman Januari turun 3,1% menjadi US$ 36,78 per barel pada pukul 09.29 WIB. Lalu, minyak mentah jeis West Texas Intermediate CLc1 turun 3,5% menjadi US$ 34,55 per barel. Grafik Databoks di bawah ini menunjukkan angkanya merupakan yang terendah sejak akhir Mei lalu.
Kasus virus corona di Benua Biru melewati angka 10 juta kasus pada pekan lalu. Kondisi ini membuat beberapa negara di Eropa menerapkan kembali penutupan atau lockdown untuk memperlambat laju infeksi virus corona.
Inggris kini sedang bergulat dengan lebih 20 ribu kasus per hari. “Langkah penguncian yang diumumkan Inggris dan Italia menunjukkan situasi di Eropa memburuk,” kata kepala strategi pasar CMC Markets Michael McCarthy.
Padahal, prospek perdagangan minyak sempat terlihat membaik setelah pesanan ekspor ke Jepang tumbuh untuk pertama kalinya dalam dua tahun terakhir. Aktivitas pabrik-pabrik di Tiongkok pun melaju cepat pada Oktober lalu.
Pasar kini khawatir permintaan akan kembali melemah dan pasokan meningkat. Kondisi ini memicu pelemahan harga minyak, meskipun organisasi negara pengekspor minyak dan sekutunya alias OPEC+ telah sepakat memangkas produksi sekitar 7,7 juta barel per hari hingga akhir tahun.
Pekan pemilu AS juga menyebabkan ketidakpastian global. Dua kandidat presiden, yaitu Donald Trump dan Joe Biden, kini bersaing ketat untuk memenangkan pemilihan pada 3 November nanti. “Kekhawatiran paling mendesak pasar adalah kelumpuhan politik akan menunda atau mengurangi respon fiskal terhadap situasi pandemi yang memburuk,” ucap McCarthy.
Perusahaan perdagangan minyak independen terbesar di dunia, Vitol Group, meragukan langkah lockdown di Eropa akan menyebabkan penurunan signifikan harga minyak mentah. "Ini adalah speed bump (polisi tidur)," kata Mike Muller, kepala Asia untuk Vitol Group, dikutip dari Bloomberg. “Langkah tersebut hanya berdampak ratusan ribu barel minyak per hari saja.”
Bank Dunia Revisi Naik Harga Minyak 2020-2021
Sebelumnya, Bank Dunia merevisi prediksi harga minyak dunia untuk tahun ini dan tahun depan di tengah pemulihan ekonomi beberapa negara. Proyeksinya rata-rata pada 2020 dan 2021 menjadi US$ 41 dan U$ 44 per barel. Angka sebelumnya pada April lalu adalah US$ 35 dan US$ 42 per barel. Namun, dua angka itu masih lebih rendah ketimbang harga sebelum pandemi terjadi.
Kondisinya berbeda dengan hasil tambang mineral yang pelan-pelan sudah bergerak naik. “Dampak Covid-19 pada komoditas tidak merata dan dapat memiliki efek jangka panjang bagi pasar energi,” kata Pelaksana Tugas Wakil Presiden Grup Bank Dunia untuk Pertumbuhan yang Berkeadilan, Keuangan, dan Lembaga Ayhan Kose.
Tahun depan, permintaan minyak akan naik tapi sangat perlahan karena sektor pariwisata dan transportasi masih melemah. Harga energi secara keseluruhan, termasuk gas alam dan batu bara, berpotensi pulih signifikan. Namun, gelombang kedua pandemi yang mengakibatkan lebih banyak lockdown dan lebih sedikit konsumsi dapat menurunkan kembali harganya.
Untuk permintaan minyak, OPEC memprediksi akan naik menjadi 107,2 juta barel per hari pada 2030 dari 90,7 juta barel per hari pada tahun ini. Namun, organisasi negara pengekspor minyak atau OPEC menyebut perkiraan itu menurun 1,1 juta barel per hari yang mencerminkan dampak pandemi corona terhadap ekonomi dan konsumsi.
Prediksi ini termuat dalam Prospek Minyak Dunia 2020 yang dilucurkan OPEC pada 8 Oktober lalu. “Permintaan minyak di masa depan kemungkinan tetap di bawah proyeksi sebelumnya karena masih ada efek lockdown terkait Covid-19,” tulis laporan itu.