PT Bukit Asam (Persero) Tbk berharap pemerintah memberikan subsidi untuk proyek gasifikasi batu bara menjadi dimethyl ether atau DME di kawasan Tanjung Enim, Sumatera Selatan. Bantuan ini dapat berasal dari dana alokasi subsidi liquefied petroleum gas (LPG) alias elpiji.
Kehadiran produk hilirisasi batu bara itu nantinya dapat menggantikan LPG yang 70% masih produk impor. “Kami perlu payung hukum supaya dapat mengalihkan subsidi dari elpiji ke DME,” kata Direktur Utama Bukit Asam Arviyan Arifin dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi VII, DPR, Senin (7/12).
Berdasarkan kajian yang dilakukan perusahaan berkode efek PTBA itu bersama Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), proyek gasifikasi dapat menghemat biaya subsidi elpiji. Sepanjang 2019, rata-rata impornya mencapai US$ 568 per ton.
Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, rata-rata impor elpiji di angka US$ 690 per ton. "Kalau LPG bisa naik-turun, kalau DME akan fix," ujarnya. Apalagi, batu bara yang digunakan dalam proyek gasifikasi ini berkalori rendah yang selama ini kurang diminati.
Pabrik gasifikkasi tersebut rencananya akan mengolah 6 juta ton batu bara per tahun untuk menghasilkan 1,4 juta ton DME. Bukit Asam memiliki total cadangan batu bara 3 miliar ton. Dari jumlah tersebut, sebanyak 2 miliar ton merupakan batu bara berkalori rendah dan 1 miliar ton lainnya merupakan kalori tinggi.
Kementerian ESDM sebelumnya juga telah melakukan kajian terhadap proyek tersebut. Setidaknya terdapat 6 poin dampak ekonomi dari hilirisasi batubara untuk DME. Pertama, proyek ini meningkatkan ketahanan energi nasional dan mengurangi ketergantungan impor LPG. Dengan penggunaan DME, akan impornya berkurang hingga 1 juta ton per tahun.
Kedua, menghemat cadangan devisa hingga Rp 9,7 triliun per tahun dan neraca perdagangan hingga Rp 5,5 triliun per tahun. Ketiga, menambah investasi asing yang masuk ke Indonesia sebesar US$ 2,1 miliar.
Keempat, pemanfaatan sumber daya batu bara kalori rendah sebesar 180 juta ton selama 30 tahun umur pabrik. Kelima, adanya multiplier effect berupa manfaat langsung yang didapat pemerintah hingga Rp 800 miliar per tahun.
Keenam, pemberdayaan industri nasional yang melibatkan tenaga lokal dengan penyerapan jumlah tenaga kerja sekitar 10.570 orang pada tahap konstruksi dan 7.976 orang pada tahapan operasi.
Lemigas Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian ESDM telah melakukan uji coba terkait kompor DME. Hasilnya, efisiensi kompor meningkat dari rata rata 61,9% dengan penggunaan elpiji, menjadi 73,4% dengan memakai DME.
Konstruksi Pabrik Gasifikasi Ditanggung Air Product
Arviyan mengatakan, biaya konstruksi pabrik gasifikasi batu bara Sumatera Selatan tersebut akan ditanggung sepenuhnya oleh Air Product. Perusahaan asal Amerika Serikat ini akan menggelontorkan uang sebesar US$ 2,1 miliar atau sekitar Rp 30 triliun. Rencananya pembangunan akan dimulai pada tahun depan hingga 2024.
Sebagai gantinya, Pertamina dan Bukit Asam memiliki opsi untuk memiliki 40% saham. “Tapi setelah pabrik beroperasi (COD) dan menghasilkan DME terbukti selama satu tahun,” kata Arviyan.
Ia pun menilai keekonomian proyek akan perusahaan peroleh seiring dengan masifnya penggunaan teknologi yang berkembang. Misalnya, Tiongkok yang berhasil mengubah 400 juta ton per tahun batu bara menjadi DME menggunakan teknologi terkini.
Sebelumnya, Komisaris Utama PT Pertamina (Persero) Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok mengkritik program gasifikasi batu bara. Proyek gasifikasi yang mengubah batu bara menjadi DME tidak cocok menggantikan LPG. Pasalnya, investasi proyeknya yang mahal.
Dampaknya, DME membutuhkan subsidi jauh lebih mahal ketimbang impor elpiji. “Substitusinya menarik tapi memerlukan subsidi lebih mahal,” katanya pada pekan lalu.