Disparitas Harga DMO Tinggi Jadi Penyebab Masalah Pasokan Batu Bara

ANTARA FOTO/Wahdi Septiawan/foc.
Suasana saat pekerja beraktivitas di tempat penumpukan sementara batu bara, Muarojambi, Jambi, Rabu (1/7/2020).
Penulis: Happy Fajrian
3/1/2022, 16.01 WIB

Tingginya disparitas harga batu bara untuk pemenuhan kebutuhan dalam negeri (DMO) dengan harga internasional dituding sebagai penyebab masalah pasokan pada PLTU PLN dan IPP. Masalah pasokan ini membuat pemerintah melarang ekspor terhitung mulai 1 Januari hingga 31 Januari 2022.

Oleh karena itu lembaga riset Institute for Essential Services Reform (IESR) meminta pemerintah menghilangkan disparitas harga tersebut agar pasokan batu bara dalam negeri bisa andal.

“Kebijakan DMO harus ditinjau ulang, kenapa penambang enggan, karena disparitas harga pasar dengan DMO jauh sekali, tentunya pengusaha tidak salah juga mencari profit,” kata Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa dalam keterangan yang dikutip di Jakarta, Senin (3/1).

Dia menilai disparitas harga antara PLN yang mengambil batu bara dengan harga US$ 70 per metrik ton terlalu tinggi dengan selisih harga internasional. Apalagi harga batu bara tahun lalu sempat menyentuh level US$ 270 per metrik ton, dan saat ini meski sudah turun harganya masih di level US$ 140 atau dua kali lipat harga DMO.

Sama halnya dengan harga batu bara acuan Indonesia yang sempat menembus US$ 200 per ton, tepatnya US$ 215 per ton pada November. Meskipun pada Desember harganya turun signifikan menjadi US$ 159,79 per ton. Simak databoks berikut:

Fabby menyarankan pemerintah menerapkan harga dinamis terkait harga domestik batu bara. “DMO dibuat dinamis di bawah harga internasional tapi tidak tetap, konsekuensinya memang harga listrik PLN naik. Kalau harga naik, PLN akan dipaksa memakai energi terbarukan,” ujarnya.

Mengenai larangan sementara ekspor batu bara terhitung 1-31 Januari 2022 yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM, Fabby mengamini urgensi ketersediaan bahan baku batu bara untuk pasokan PLN agar tidak terjadi pemadaman listrik.

“Kalau dari energy security (keamanan energi) memang keputusan pemerintah (larangan ekspor batu bara) sesuatu yang urgent,” kata Fabby. Kendati demikian, ia memaklumi protes dari Kamar Dagang dan Industri (Kadin) terkait kebijakan pelarangan ekspor batu bara tersebut karena terkesan terburu-buru dan tidak melibatkan pelaku usaha.

Menurut Fabby, kebijakan tersebut menghantam semua pelaku bisnis batu bara di Indonesia. Padahal banyak pelaku usaha di sektor tersebut yang mematuhi kebijakan DMO.

Penekanan pentingnya penerapan energi terbarukan ditegaskan Fabby karena jaminan pasokan energi jangka panjang.“Dalam 2-3 tahun ke depan pemerintah harus mencabut kebijakan DMO, harga listrik batu bara merefleksikan harga ekonomi sebenarnya,” pungkasnya.

Sebelumnya, saat rapat dengar pendapat di Komisi VII DPR RI, Senin (15/11/21), Direktur Utama PLN Zulkifli Zaini mengatakan DMO batu bara ditujukan untuk mengatur volume dan harga batu bara untuk industri di dalam negeri sebagaimana diatur oleh pemerintah di dalam Peraturan Menteri ESDM.

Bila aturan DMO dilepas, Fabby memandang hal itu akan berdampak pada kepastian pasokan batu bara dalam negeri. Hal lain, langkah itu diyakini turut memicu lonjakan biaya yang pada ujungnya berdampak pada kenaikan subsidi atau tarif listrik masyarakat.

Dampak kedua bila DMO ini dicabut potensi kenaikan harga batu bara yang akan berdampak langsung pada Biaya Pokok Penyediaan (BPP) listrik. Kenaikan ongkos produksi ini disampaikan Zulkifli juga akan berdampak langsung pada subsidi dan kompensasi listrik dari pemerintah ke PLN.

Sementara itu, Kementerian ESDM melalui Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Rida Mulyana mengatakan pemerintah dan Badan Anggaran DPR RI telah sepakat akan menyesuaikan tarif dasar listrik bila situasi pandemi Covid-19 makin membaik pada 2022. Adapun kompensasi penyesuaian tarif akan diberikan selama enam bulan.