Produsen Batu Bara yang DMO-nya Lebih 76% Dikabarkan Boleh Ekspor Lagi

ANTARA FOTO/Nova Wahyudi/wsj.
Pekerja melintas di dekat kapal tongkang pengangkut batubara di kawasan Dermaga Batu bara Kertapati milik PT Bukit Asam Tbk di Palembang, Sumatera Selatan, Selasa (4/1/2022).
6/1/2022, 12.46 WIB

Pemerintah melalui Kementerian ESDM dikabarkan akan mengizinkan kembali perusahaan tambang batu bara untuk ekspor jika telah memenuhi domestic market obligation (DMO) lebih dari 76% pada periode 1 Januari-31 Oktober 2021.

Ketua Umum Asosiasi Pemasok Batu Bara dan Energi Indonesia (Aspebindo) Anggawira mengatakan Kementerian ESDM telah berkoordinasi dengan Kementerian Perdagangan terkait pemenuhan DMO perusahaan pertambangan.

Berdasarkan informasi yang ia peroleh, produsen tambang batu bara yang telah memenuhi DMO lebih dari 76%, akan kembali diizinkan ekspor mulai hari ini, Kamis (6/1). "Surat edarannya akan dirilis tanggal 6 Januari 2022," ujarnya kepada Katadata.co.id.

Saat dikonfirmasi perihal tersebut, Direktur Jenderal Minerba Kementerian ESDM Ridwan Djamaluddin belum merespon pesan yang dikirimkan Katadata.co.id. Begitu juga dengan Direktur Pembinaan dan Pengusahaan Batu Bara Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara (Minerba) Sujatmiko.

Seperti diketahui, industri batu bara dikejutkan dengan kebijakan larangan ekspor mineral hitam ini mulai 1 Januari hingga 31 Januari 2022. Kebijakan ini diambil atas laporan PLN yang menyebutkan kondisi persediaan batu bara di pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang berada dalam kondisi kritis.

Jika persediaan batu bara tidak segera ditingkatkan, maka Indonesia berpotensi mengalami pemadaman listrik secara massal atau blackout. Sebab sebagian besar listrik di Indonesia bersumber dari PLTU yang berbahan bakar batu bara. Simak databoks berikut:

Produsen batu bara yang tergabung dalam Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) menyatakan keberatan dengan kebijakan yang diterapkan secara umum dan mendadak ini. Apalagi pemerintah disebut tidak berkonsultasi terlebih dahulu dengan pelaku industri terkait permasalahan persediaan batu bara PLN yang menipis.

Ketua umum APBI Pandu Sjahrir mengatakan bahwa larangan ekspor akan berdampak signifikan terhadap industri pertambangan batu bara secara umum dan aktivitas ekspor batu bara yang sedang digalakkan pemerintah sebagai salah satu penghasil devisa utama negara.

"Solusi untuk mengatasi kondisi krisis persediaan batu bara PLTU grup PLN termasuk IPP seharusnya dapat didiskusikan terlebih dahulu dengan para pelaku usaha untuk menemukan solusi yang terbaik bagi semua pihak," ujarnya dalam keterangan tertulis.

Ia menilai keputusan larangan ekspor dalam rangka pemenuhian DMO 2022 tidak tepat karena pelaksanaan DMO dilakukan dalam setahun yang dihitung dari Januari hingga Desember.

Selain itu pasokan batu bara ke PLTU PLN maupun IPP bergantung pada kontrak penjualan dengan masing-masing pemasok serta implementasi ketentuan yang telah disepakati dalam kontrak tersebut.

"Anggota APBI telah berupaya maksimal memenuhi kontrak dan aturan penjualan batu bara untuk kelistrikan nasional sebesar 25% di tahun 2021, bahkan sebagian telah memasok lebih dari kewajiban DMO tersebut, juga kebijakan harga patokan maksimal," kata Pandu.

Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) menilai kebijakan larangan ekspor batu bara sementara yang dikeluarkan Dirjen Minerba dan didukung kementerian terkait akan berdampak sistemik dan masif. Ketua Umum Perhapi, Rizal Kasli mengatakan terdapat kerugian langsung yang ditimbulkan akibat kebijakan tersebut.

Di antaranya seperti kapal yang sudah terisi penuh oleh muatan batu bara harus dialihkan ke PLN, yang secara kontrak komersial harga batu baranya lebih rendah daripada harga jual ke luar negeri. Padahal, kualitas batu bara tersebut belum tentu sesuai dengan spesifikasi yang dibutuhkan PLN untuk pembangkit listrik.

Sedangkan tidak semua penambang memiliki kontrak bersama PLN, dengan alasan baik kualitas batu bara yang tidak sesuai dengan spesifikasi dan hal lainnya. "Bisa dibayangkan berapa kerugian yang akan dialami untuk waktu yang lama jika penghentian ini berlanjut dalam waktu yang lama," ujar Rizal kepada Katadata.co.id, Selasa (4/1).

Biaya demurrage bagi kapal yang berasal dari buyer luar negeri, yang akan dibebankan kepada produsen batu bara/penjual/pengirim dengan nilai yang bervariasi mulai dari US$ 20,000-40,000 per hari. Mengingat, harus menunggu kargo untuk dipenuhi dan tidak sesuai dengan laycan kapal yang disepakati dalam kontrak.

Selain itu, kebijakan larangan ekspor ini juga akan menyebabkan banyak sengketa. Kredibilitas Indonesia sebagai pengekspor batu bara pun akan turun yang dapat berpotensi mengurangi minat investasi dan perdagangan kepada Indonesia.

Namun dia menilai Dirjen Minerba tidak akan membuat kebijakan ekstrim, jika pengusaha atau perusahaan pemasok batu bara mempunyai niat baik dan bertanggung jawab, khususnya untuk konsisten menyuplai batu bara sesuai aturan DMO.

Reporter: Verda Nano Setiawan