Kementerian ESDMmengungkapkan bahwa ada delapan negara yang meminta Indonesia mencabut larangan ekspor batu bara ketika kebijakan tersebut diumumkan awal Januari lalu.
Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Ridwan Jamaludin menjelaskan bahwa batu bara masih dibutuhkan sebagai sumber energi primer nasional walau pemerintah telah berkomitmen untuk melakukan transisi energi menuju sumber energi bersih.
Dia menyebut bahwa saat ini 70% produksi batu bara dunia masih digunakan untuk pembangkit listrik. Sehingga, ini menjadi cerminan bahwa transisi energi harus menempatkan kebutuhan energi dalam negeri terpenuhi terlebih dulu.
"Buktinya ketika kita lakukan larangan ekspor setidaknya ada delapan negara sahabat yang menghubungi kita minta larangan ekspor dicabut. Artinya delapan negara ini pembangkit listriknya bergantung cukup tinggi terhadap batu bara Indonesia," kata Ridwan dalam diskusi Meneropong Kinerja dan Ekspor Batu Bara pada 2022, Kamis (27/1).
Menurut Ridwan permintaan batu bara di tahun ini diperkirkaan masih akan tetap tinggi. Bahkan secara global akan terus mengalami kenaikan hingga pada waktunya nanti dunia memiliki pasokan energi secara masif yang harganya terjangkau.
"Untuk badan usaha yakinlah bahwa pemerintah bagaikan orang tua perusahaan. Namun ketika ada anak anak yang perlu dijewer ya mohon maaf kita jewer," katanya.
Ridwan tidak memerinci kedelapan negara yang telah melobi pemerintah Indonesia untuk mencabut kebijakan larangan ekspor. Namun menurut data Kementerian ESDM pada 2020, 10 negara tujuan ekspor batu bara utama RI di antaranya Cina, India, Filipina, Jepang, Malaysia, Korea Selatan, Vietnam, Taiwan, Thailand, dan Bangladesh.
Cina dan India merupakan pangsa terbesar batu bara RI. Dari 10 negara tersebut, Jepang dan Korea Selatan diketahui telah menyampaikan permintaan resmi kepada pemerintah Indonesia untuk membuka kembali keran ekspor batu bara. Simak databoks berikut:
Meski demikian Kementerian ESDM tak mengabulkan permintaan Jepang dan Korea Selatan. Apalagi menurut catatan mereka, banyak perusahaan batu bara yang berkontrak dengan dua negara tersebut ternyata masuk dalam daftar perusahaan "nakal" yang belum memenuhi komitmen DMO.
Rinciannya, dari total 99 perusahaan yang berkontrak ekspor batu bara dengan Korea Selatan, hanya 19 yang memenuhi komitmen DMO. Sementara, dari 37 perusahaan yang memiliki kontrak ekspor dengan Jepang, hanya 8 perusahaan yang telah memenuhi komitmen DMO.