Harga minyak dunia masih berada di atas US$ 120 per barel. Per hari Jumat (10/6) siang, Brent berada di level US$ 122,06 per barel, sementara West Texas Intermediate (WTI) US$ 120,53 per barel. Mantan Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar menjelaskan ada lima faktor yang mempengaruhi tingginya harga minyak.
Faktor pertama yakni perang Rusia dan Ukraina yang menyebabkan pasokan ke pasar berkurang. Sebagai produsen minyak nomor tiga terbesar di dunia, Rusia memasok sekitar 11% dari kebutuhan minyak global. Dari pasokan ini, sekitar 4% digunakan untuk ekspor ke negara lain.
Akibat perang tersebut, Rusia dikenakan sanksi untuk tidak mengekspor minyak mentahnya. Kalaupun ada, tentunya tidak melalui mekanisme pasar wajar dan jumlahnya terbatas. Terhentinya ekspor minyak Rusia ini juga menjadi persoalan karena tidak mudah untuk menghentikan produksi dari lapangan yang sedang berproduksi.
"Sebab dalam banyak pengalaman, ketika sebuah lapangan dihentikan operasinya, selain butuh biaya mahal untuk memulai kembali kegiatan produksi, kemungkinan produksi minyak turun sangat terbuka. Inilah yang menjadi tantangan Rusia saat ini," kata Arcandra, Kamis (9/6), melalui akun Instagramnya @arcandra.tahar.
Akibatnya, sanksi yang dikenakan ke Rusia berakibat pada berkurangnya kegiatan drilling (pengeboran) sehingga menyebabkan tertundanya berbagai proyek untuk menaikkan produksi dan berkurangnya akses terhadap peralatan dan teknologi.
"Dapat dibayangkan ketika nanti krisis Rusia-Ukraina berakhir, produksi minyak Rusia bisa anjlok sementara kebutuhan minyak meningkat, maka harga minyak dunia bisa lebih tidak terkendali lagi," sambung Archandra.
Faktor kedua yakni berkurangnya produksi minyak di negara-negara berkembang. Ini merupakan dampak kebijakan perusahaan minyak Amerika Serikat (AS) yang mengkonsolidasikan asetnya ke dalam negeri dan juga kebijakan dekarbonisasi yang membuat naiknya ongkos produksi.
Menurut Arcandra, hal Itulah yang menyebabkan sejumlah proyek migas milik Chevron, Exxon dan ConocoPhillips di banyak negara berkembang dijual, seperti di Nigeria, Thailand, Indonesia dan Malaysia.
Selain faktor optimalisasi produksi yang fokus ke lapangan dengan sumber migas besar, perusahaan migas AS juga mulai mengantisipasi dampak pemberlakukan pajak karbon di sejumlah negara.
Arcandra menilai, pajak karbon akan menjadi beban tambahan bagi perusahaan migas, walaupun akhirnya biaya itu akan kembali di bebankan kepada konsumen.
Akibat konsolidasi perusahaan minyak AS tersebut, tentunya produksi minyak di lapangan yang mereka tinggalkan di negara-negara berkembang akan menurun. Peralihan ke operator baru tidak serta merta akan mampu menjaga produksi minyak tetap sama. Faktor kemampuan manusia, teknologi dan dana akan sangat menentukan.
Kemudian faktor ketiga dipengaruhi oleh strategi Uni Eropa (UE) yang beralih ke energi terbarukan. Ini berimbas pada banyaknya lapangan migas di Laut Utara yang mestinya masih bisa ditingkatkan produksinya dibiarkan beroperasi apa adanya.
"Tanpa investasi yang sungguh-sungguh untuk menahan penurunan laju produksi, mustahil kebutuhan minyak dunia terbantu dari produksi minyak di lapangan Laut Utara," ujarnya.
Kondisi ini diperparah oleh semakin susahnya mendapatkan akses pendanaan dari lembaga keuangan dunia dan investor yang secara ketat mensyaratkan ESG (Environmental, Social and Governance) yang lebih terencana.
Satu hal lagi yang menjadi kendala perusahaan migas di Eropa adalah mahalnya biaya untuk mendapatkan lapangan eksplorasi yang ditawarkan oleh beberapa negara, seperti di lepas pantai Inggris Raya.
Akibatnya kegiatan eksplorasi untuk menemukan cadangan migas baru menjadi sangat rendah dan harapan akan produksi dari Laut Utara untuk memenuhi kebutuhan minyak dunia makin suram.
Faktor keempat adalah harapan akan kendaran listrik (EV) yang dalam waktu dekat bisa menggantikan kendaran berbahan bakar fosil (ICE) belum terwujud. Banyak hal yang menjadi penyebab kenapa penetrasi EV belum bisa masif.
Beberapa diantaranya adalah terbatasnya bahan mentah untuk baterai, pembangunan charging station yang masih terbatas dan kekurangan chip yang sangat dibutuhkan untuk komponen elektronik mobil listrik.
Faktor kelima adalah persaingan antara pemenuhan kebutuhan pangan atau kebutuhan energi untuk biofuel. Akibat perang antara Rusia dan Ukraina, bahan dasar untuk produksi biofuel dialihkan untuk pangan. Biofuel yang diharapkan akan menggantikan fossil fuel belum bisa sepenuhnya diandalkan.
"Akibatnya, kebutuhan dunia ke depan akan fossil fuel akan tetap tinggi. "Ini tentu akan mendorong harga minyak dunia naik," tukas Arcandra.