Harga minyak dunia menyentuh US$ 123 per barel didorong ketatnya pasokan setelah negara-negara anggota OPEC dan sekutunya, atau OPEC+, gagal meningkatkan produksi ke level yang telah ditargetkan.

Hingga Selasa (14/6) sore waktu Indonesia, harga minyak acuan global, Brent, bergerak ke level US$ 123,39 per barel, sedangkan harga minyak Amerika Serikat (AS), West Texas Intermediate (WTI), bergerak ke level US$ 121,5 per barel.

Harga minyak sempat turun hingga US$ 4 per barel pada perdagangan Senin (13/6) dipengaruhi berlanjutnya penguncian wilayah alias lockdown Covid-19 di Shanghai, Cina. Namun kegagalan OPEC+ mencapai target produksi serta kendala produksi Libya, dan beberapa sentimen lainnya kembali mendongkrak harga.

Analis komoditas dari OANDA, Jeffrey Halley, mengatakan bahwa dinamika supply/demand tetap menopang harga. “Tidak ada aksi jual minyak yang signifikan atau berlangsung lama kecuali pasar dilanda resesi besar-besaran dengan lockdown baru di Cina,” ujarnya dikutip dari CNBC.com.

Dia menambahkan bahwa sanksi embargo minyak Rusia oleh Uni Eropa juga membuat persaingan untuk mendapatkan pasokan semakin ketat. Sejauh ini, dia melihat belum ada produsen yang dapat menggantikan pasokan yang hilang dari Rusia.

“Penurunan produksi minyak olahan secara global terus berlanjut. Minimnya investasi untuk mendongkrak produksi dari anggota OPEC, atau sumber lain, berarti produksi Rusia yang hilang sama sekali tidak tercakup oleh pasar global,” kata Halley.

Juga berkontribusi mendorong harga adalah kondisi konflik di Libya, di mana pada akhir pekan lalu terjadi bentrokan antara milisi yang menyebabkan banyak fasilitas minyak yang ditutup. Pada Senin, hampir semua ladang minyak Libya ditutup dan negara itu kehilangan sekitar 1,1 juta barel per hari.

"Kami berjuang dengan hilangnya (minyak) Rusia, jadi sekarang tambahkan tanda seru dengan situasi Libya," Robert Yawger, direktur eksekutif energi berjangka di Mizuho, seperti dikutip Reuters.

Pasar diperkirakan akan tetap bergejolak, sementara itu, dengan situasi Covid-19 di Cina meredam proyeksi permintaan. Yang ditakuti pasar adalah kebijakan nol-Covid Cina yang dapat mengakibatkan penguncian brutal yang mengurangi permintaan minyak.

UBS menaikkan perkiraan harga Brent menjadi US$ 130 per barel untuk akhir September dan menjadi US$ 125 untuk tiga kuartal berikutnya, naik dari perikiraan US$ 115 sebelumnya.

“Persediaan minyak yang rendah, kapasitas cadangan yang berkurang, dan risiko pertumbuhan pasokan yang memperlambat pertumbuhan permintaan selama beberapa bulan mendatang telah mendorong kami untuk menaikkan perkiraan harga minyak kami,” kata bank tersebut.

Namun harga minyak berpotensi tertekan Ke depan, jika bank sentral Amerika, the Federal Reserve (The Fed), mengejutkan pasar dengan kenaikan suku bunga yang lebih tinggi dari perkiraan untuk menjinakkan inflasi pada pertemuan 14-15 Juni.