Freeport Ajukan Ekspor 2,3 Juta Ton Tembaga Jelang Larangan Ditetapkan

ANTARA FOTO/Rizal Hanafi/Zk/aww.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartanto (kedua kiri) bersama Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Tony Wenas (kedua kanan) meninjau pembangunan proyek Smelter Freeport di kawasan Java Integrated and Industrial Port Estate (JIIPE),
7/2/2023, 08.47 WIB

PT Freeport Indonesia atau PTFI mengajukan permohonan ekspor konsentrat tembaga sebanyak 2,3 juta ton dalam Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) kepada Kementerian Energi Sumber Daya Mineral tahun ini. Pengajuan permohonan ekspor itu disampaikan di tengah rencana pemerintah melarang ekspor seluruh mineral mentah secara serempak pada Juni 2023.

Direktur Utama Freeport Indonesia, Tony Wenas, mengatakan  permohonan volume ekspor konsentrat tembaga tahun ini lebih tinggi ketimbang realisasi ekspor tahun sebelumnya sejumlah 2 juta ton. Saat ini, perseroan masih menunggu hasil verifikasi ihwal perkembangan proyek smelter tembaga Gresik yang dilakukan oleh verifikator independen. Hasil verifikasi tersebut menjadi salah satu syarat untuk memperoleh izin ekspor. 

"Memang untuk persetujuan izin ekspor masih berproses," kata Tony saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi VII DPR pada Senin (6/2).

Pembangunan smelter tembaga Gresik merupakan kewajiban perusahaan setelah freeport mendapatkan perpanjangan kontrak Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) pada 2018 silam. Ketetapan tersebut mewajibkan Freeport merampungkan proyek smelter dalam jangka waktu lima tahun, tepatnya pada 21 Desember 2023.

Belakangan target tersebut harus dikoreksi karena proyek mengalami keterlambatan imbas Pandemi Covid-19. Terbaru, proyek smelter Gresik diproyeksikan beroperasi komersial pada akhir 2024. Adapun kemajuan konstruksi smelter Gresik hingga akhir Januari 2023 baru mencapai 54%. 

"Pandemi Covid-19 sangat berdampak bagi kami sehingga kami mengajukan ada keterlambatan proyek kepada pemerintah," ujar Tony.

Wakil Ketua Komisi VII DPR, Eddy Soeparno, mengusulkan pemerintah untuk menarik pajak ekspor bagi pengusaha pertambangan mineral yang belum menyelesaikan pembangunan fasilitas pemurnian atau smelter untuk program hilirisasi di dalam negeri. Langkah ini menjadi jalan tengah bagi kebijakan pelaksanaan larangan ekspor seluruh mineral mentah yang berlaku serempak pada Juni 2023 tanpa harus merevisi Undang-Undang (UU) Nomor 3 tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba). 

Kebijakan hilirisasi produk mineral mentah merupakan amanat Pasal 170A UU Minerba. Pasal tersebut mengatur ekspor produk mineral yang belum dimurnikan berlaku maksimal tiga tahun sejak UU Minerba disahkan.

“Kalaupun mau dilaksanakan setelah Juni 2023, perusahaan tetap diberikan akses untuk melakukan ekspor tetapi ada tambahan pajak ekspornya,” kata Eddy saat ditemui di AONE Hotel Jakarta pada Senin (6/2).

Pembangunan Smelter

Meski termin larangan ekspor makin dekat, sejumlah perusahaan pertambangan masih belum mampu menyelesaikan pembangunan smelter, di antaranya yakni PT Freeport Indonesia. Pemberlakukan larangan ekspor mineral mentah di tengah kondisi minimnya serapan di dalam negeri dinilai akan mengancam keberlangsungan operasional perusahaan.

“Di PTFI ada 14 ribu pekerja. Bagaimana nanti dengan pekerja di sana, atau memang diberikan pengecualian lagi atau tambahan waktu dengan persyaratan yang ketat,” ujar Eddy.

Keterlambatan pembangunan mayoritas disebabkan oleh kondisi eksternal seperti pandemi Covid-19 dan kondisi geopolitik global yang kurang stabil. Ia menilai pemerintah akan terbuka terhadap perusahaan yang mengalami kendala dalam larangan ekspor tetapi belum melakukan hilirisasi sama sekali. 

Lebih lanjut, ujar Eddy, apabila nantinya pemerintah menerbitkan aturan pajak ekspor, pemerintah juga harus memberikan aturan tegas yang berhubungan dengan progres pembangunan smelter. Eddy mencontohkan, pemerintah bisa langsung menghentikan hak ekspor perusahaan apabila melewati batas waktu yang disepakati dengan pemerintah. 

“Misalnya akhir tahun ini progresnya harus 70%, ya harus 70%. Kalau tidak harus disetop ekspornya,” ujar Eddy.

Reporter: Muhamad Fajar Riyandanu