OPEC+ Pangkas Produksi 3,66 Juta bph, Harga Minyak Meroket Lebih 8%

ANTARA FOTO/Idhad Zakaria
Ilustrasi. Harga minyak naik lebih dari 8% setelah OPEC+ memangkas produksi minyak lebih dalam dari 2 juta barel per hari yang diputuskan pada Oktober tahun lalu.
Penulis: Happy Fajrian
3/4/2023, 12.59 WIB

Harga minyak naik sekitar US$ 5 per barel setelah OPEC dan sekutunya termasuk Rusia, atau lebih dikenal dengan OPEC+, memutuskan untuk memangkas produksinya lebih dalam dari 2 juta barel per hari (bph) yang diputuskan pada Oktober tahun lalu.

Aliansi negara-negara pengekspor minyak tersebut memutuskan untuk menambah pemangkasan produksi minyak sebesar 1,16 juta bph. Sehingga, ditambah dengan pemangkasan produksi rusia sebesar 500 ribu bph, total pengurangan produksi sampai akhir tahun ini menjadi 3,66 juta bph, setara 3,7% dari permintaan global.

Harga Brent hari ini terpantau naik hingga menyentuh level US$ 86,44 per barel, naik 8,19% dari posisi akhir pekan lalu di US$ 79,89. Sementara minyak mentah Amerika Serikat (AS), West Texas Intermediate (WTI) naik menembus US$ 80 per barel, tepatnya US$ 81,27, setelah pada pekan lalu berakhir di level UUS$ 75,67 per barel.

Akibatnya, Goldman Sachs menurunkan perkiraan produksi akhir 2023 untuk OPEC+ sebesar 1,1 juta bph dan menaikkan perkiraan harga Brent masing-masing menjadi US$ 95 untuk tahun ini dan US$ 100 per barel untuk tahun 2024.

Goldman memperkirakan pengurangan produksi dapat memberikan dorongan 7% untuk harga minyak, berkontribusi pada pendapatan minyak Saudi dan OPEC+ yang lebih tinggi.

Langkah OPEC+ memangkas produksi lebih dalam mendapat respon negatif dari pemerintah AS. Pemerintahan Biden mengatakan melihat langkah yang diumumkan oleh produsen sebagai tidak bijaksana. Beberapa analis juga mempertanyakan alasan pengurangan produksi tambahan oleh OPEC+.

“Sulit untuk menerima alasan 'pre-emptive' dan 'precautionary' - terutama sekarang, ketika krisis perbankan telah mereda dan Brent merangkak naik kembali menuju US$ 80 dari posisi terendah 15 bulan pada awal Maret,” kata analis pasar minyak Vanda Insight, Vandana Hari, Senin (3/4).

Bulan lalu, Brent jatuh ke US$ 70 per barel, terendah dalam 15 bulan, di tengah kekhawatiran bahwa krisis perbankan global dan kenaikan suku bunga akan menekan permintaan meskipun produksi minyak OPEC lebih rendah pada bulan Maret karena pemeliharaan ladang minyak di Angola dan penghentian ekspor minyak Irak.

“Langkah hari ini, seperti pemotongan Oktober, dapat dibaca sebagai sinyal jelas lain bahwa Arab Saudi dan mitra OPEC akan berusaha untuk mengurangi aksi jual makro lebih lanjut dan bahwa The Fed bukan satu-satunya bank sentral yang penting,” kata analis RBC Capital, Helima Croft.

“Intinya adalah Washington dan Riyadh hanya memiliki target harga yang berbeda untuk inisiatif kebijakan utama mereka,” ujarnya lagi.

Analis di JP Morgan mengatakan langkah itu datang lebih lambat dari yang mereka perkirakan dan respons yang lambat terhadap harga yang lebih lemah akan berdampak terbatas pada keseimbangan keseluruhan dan dapat menunda dampak harga.

“Sejak November neraca permintaan-penawaran minyak global kami menyarankan tindakan kebijakan yang kuat diperlukan untuk menjaga surplus minyak global,” kata mereka.

Sementara itu, produksi minyak mentah AS naik pada Januari menjadi 12,46 juta barel per hari (bpd), tertinggi sejak Maret 2020, menurut data Administrasi Informasi Energi (EIA), Jumat.